Special Part

84 9 0
                                    

Sultan Abdharu's POV

Kanala Btari Sora.

Kami bertemu di Leiden pada suatu masa musim dingin yang membuatku, meski telah tinggal menahun di negeri kincir angin itu, tetap menggigil. Saat itu, aku tengah berkunjung ke rumah salah satu pelajar Indonesia yang akrab denganku. Hidung mampetku saat itu membuatku tak berpikir panjang untuk singgah—Janu adik tingkat yang baik dan kupikir dia pasti mau memberiku makanan hangat, mengingat dia calon koki yang baik dan keluhanku akan apartemenku yang masih jauh pasti membuatnya tidak berpikir dua kali untuk memberi makan perutku yang keroncongan.

Seperti hari keberuntungan, rumah Janu sore itu menguarkan aroma kaldu ayam yang membuatku seketika merindukan Alifa, adik perempuanku di Jakarta yang kalau-kalau musim hujan sering kali berbagi mie instan buatannya denganku.

Namun, tidak ada Janu. Aku hanya bertemu dengan gadis berkacamata yang tengah berkutat di dapur—sumber aroma kaldu ayam itu berasal. Lengan sweater berwarna merah mudanya digulung sebatas siku, rambutnya dicepol dan tinggi, dan raut wajahnya yang serius sempat membuatku lupa untuk menanyakan keberadaan Janu.

Cantik. Hanya itu yang terpikir di kepalaku.

"Temennya Janu, Mas?" tanyanya setelah perkenalan singkat kami. Dia masih sibuk berkutat dengan bahan-bahan masakannya.

Aku mengiyakan. Serta sedikit bercerita tentang pertemuan pertamaku dengan Janu yang rupa-rupanya adalah sepupunya.

"Tapi Janu sedang tidak ada, Mas. Dia sedang ada urusan dengan temannya, katanya. Tidak tahu pulang jam berapa," katanya saat itu. "Mas butuh sesuatu? Saya bisa sampaikan pada Janu kalau dia sudah pulang."

"Saya butuh makan."

Itu adalah momen yang tidak akan pernah bisa kulupakan. Bagaimana lidahku dengan semberono menyuarakan isi perutku begitu saja—kebiasaanku menghadapi Janu. Dan, pemandangan yang kulihat setelah itu adalah pemandangan maha indah yang kuyakin dilukis Tuhan saat Dia sedang berbahagia, tawa Kanala.

"Saya sedang masak mie instan. Hanya mie instan. Saya bakal masak banyak kalau Mas... siapa?"

"Dharu. Abdharu."

"Ya, kalau Mas Dharu mau bergabung."

Tawaran itu tidak kulewatkan, tentu saja. Kesempatan mana lagi yang bisa membuatku menikmati masakan Kanala berdua? Ini terkesan hiperbola, tapi sungguh, selama dua puluh tujuh tahun usiaku, belum pernah aku makan racikan mie instan selezat itu. Bahkan lebih lezat dari yang biasa dimasak Alifa. Kuah kaldu ayam yang gurih, kematangan mie yang sempurna, aroma bawang goreng, potongan cabai dan sawi yang pas, dan perasan jeruk nipis seperti membangunkan seluruh saraf-sarafku yang kaku selama perjalanan menuju rumah Janu.

"Luar biasa. Ini mie instan terenak yang pernah saya coba. Rasa Indonesia," kataku. Tidak bermaksud melebih-lebihkan.

Kanala hanya tersenyum kecil. Kami menikmati dua mangkok mie instan sembari mengobrol, tentang siapa aku, kehidupanku di Leiden, dari mana asalku di Indonesia, bahkan sedikit tentang keluargaku. Sementara Kanala hanya berbagi cerita tentang dirinya yang mengambil magister sastra di Leiden dan rumah sewanya yang ternyata berjarak beberapa rumah dari rumah Janu.

"Tapi saya sering ke rumah Janu. Kulkasnya tidak pernah kosong. Meski saya bukan pemasak yang baik, ada saat-saat di mana saya ingin menikmati makanan yang saya masak sendiri," katanya menjelaskan keberadaannya di rumah Janu hari itu.

Cinta pada pandangan pertama itu seperti lelucon bagiku sebelumnya, tetapi melihat Kanala hari itu membuatku tidak bisa berhenti memikirkannya. Ditambah lagi, jantungku kerap berdebar jika ada mahasiswa Indonesia yang menyebut-nyebut namanya—aku tidak tahu sebelumnya bahwa dia cukup populer.

Sejak perkenalan itu, tidak ada satupun tentang Kanala yang membuatku berhenti menyukainya. Aku menyukai cara pikirnya, aku menyukai tulisan-tulisannya, aku menyukai bagaimana dia ketika mendorong kacamatanya yang melorot, aku menyukai mie instan yang dimasaknya, aku menyukai kelembutan hatinya, aku bahkan menyukai matanya yang kerap membola setiap kali dia mencoba makanan yang lezat. Aku menyukai segala tentang Kanala, selalu, sampai akhirnya aku menyadari bahwa aku telah mencintainya.

Orang bilang, cinta baru bisa disebut cinta jika tidak ada alasan yang mendasarinya. Kurasa, itu keliru. Tidak ada cinta yang tanpa alasan. Setiap cinta memiliki alasan untuk terus tumbuh dan tambah. Keberadaan Kanala sudah cukup menjadi alasan jatuh cintaku. Jatuh cinta paling besar yang membuatku bersedia menunggu bertahun-tahun.

Di awal-awal perkenalan kami, aku bukan orang yang paling berusaha mendekatinya meski aku tahu aku menyukainya. Aku juga tidak pernah menyatakan rasa sukaku pada Kanala. Aku hanya menikmati setiap kesempatan bisa bertemu dan mengobrol dengannya meski sebentar.

Empat tahun berlalu begitu saja. Akhir tahun 2021 kami bertemu di Jakarta. Kuberanikan menyatakan perasaanku pada Kanala. Namun, Kanala hanya ingin kami berteman.

"Aku menghargai Mas Dharu. Aku berterima kasih banget untuk perasaan cinta Mas Dharu. Tapi aku belum selesai dengan diriku. Aku nggak mau memulai sesuatu yang akan jadi beban buat kita. Mas Dharu mungkin nggak menganggapnya beban, tapi saat itu jadi beban buatku, itu bakal mengusik kita. Biarkan aku selesai dulu dengan diriku, Mas Dharu."

Tahu apa yang kulakukan? Menunggu Kanala selesai dengan dirinya. Aku tahu tentang kegagalan cinta pertamanya dan itu membuatku tidak ingin memaksa perasaannya. Sebaliknya, aku memosisikan diri jadi teman baik yang mendukung semua mimpi-mimpinya, yang berusaha ada di setiap pahit manis momen dalam hidupnya, yang mendengar cerita-ceritanya, yang turut merayakan pencapaian-pencapaiannya, atau yang menjadi penenang untuk kegagalan-kegagalannya.

"Lama-lama Mas Dharu berhasil nih menggeser posisi Gentari," katanya padaku suatu waktu.

Aku tertawa. "Bagus dong! Kan memang itu tujuannya," kataku. Memang, setelah pernikahan Gentari di tahun 2020, Kanala mengaku kehilangan banyak waktu bersama sahabatnya sejak kecil itu.

Hingga akhirnya, di awal tahun 2023, dua minggu sebelum ulang tahunku yang ke-32, aku melamar Kanala. Seumur hidup, tidak ada jawaban yang membuat hatiku mengembang sampai aku takut bisa terbang selain;

"Yes, I do!"

Dan ya, begitulah kami berakhir dan berawal setelah enam tahun menunggu.

Tidak sedikit orang yang bilang aku kurang beruntung karena mendapatkan Kanala setelah kegagalan jatuh cintanya yang sebelumnya. Namun, aku justru bersyukur karena seringkali, kegagalan membuat seseorang tumbuh menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Bahkan setiap kali menatap matanya yang sedang menatapku, aku semakin yakin bahwa pepatah kuno 'mencintai orang yang mencintai kita lebih dulu merupakan suatu kemustahilan' itu keliru.

Cara Kanala menatapku menyatakan itu keliru.

Sebab, kata Kanala, "hati paling mati sekalipun akan merasakan debarnya lagi saat bertemu orang yang tepat."

***

Djakarta, Pukul 11.11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang