16. Halte dan Hujan

58 11 0
                                    

"Aku menyukai diriku saat bersamamu."

_Kanala Btari Sora, Jakarta, 2009

***

Januari, 2009

Orang pertama yang harus Kanala temui setelah libur semester adalah Askara Birru. Tiga pekan Kanala menyiapkan jawaban yang tepat dan tidak menyakiti hati untuk Askara—menyelingi liburan tenang di Jogja sembari diam-diam menulis dan mengingat Benua sesekali.

Senin pagi di semester baru, tahun yang baru, Kanala sudah ada di sekolah—Pandu sempat terheran-heran saat Kanala memintanya berangkat lebih awal. Kaki berbalut sepatu hitam itu terayun pelan. Di sini, di bawah tangga tak terpakai yang biasa dia gunakan untuk membaca, Kanala ingin bertemu Askara.

Cowok itu datang dengan hoodie putih. Wajahnya tenggelem di balik penutup hoodie dan kedua tangannya memeluk lengan erat-erat. Selain terlalu pagi, musim hujan juga belum reda.

"Dingin banget. Mau hujan lagi kayaknya," celetuknya begitu mendaratkan tubuh di sisi Kanala.

Kanala tersenyum sedikit. "Padahal ini bukan Bandung, ya, Kak?" tanyanya meminta pendapat.

Askara mengangguk-angguk. Cowok itu melepas dekapannya dan menatap Kanala mantap. "Gue siap dengar apapun jawaban lo, La," putusnya.

Membasahi bibir bawahnya yang terasa kering, Kanala meminta maaf lebih dulu. Askara orang yang baik. Cowok itu ramah, menyenangkan, humoris, dan bonusnya, dia juga cerdas. Hanya saja, hati Kanala tidak ada di sana.

"Aku gak bisa, Kak. Kedengarannya mungkin sedikit egois, tapi saat ini aku cuma pengen memilih diriku di antara segala hal. Pacaran denganku bisa aja menyakiti Kak Askar nantinya."

Askara tidak menyahut. Cowok itu menatapnya lama. Membuat Kanala meneguk saliva dan mengalihkan pandangan ke semmbarang arah.

Dia sudah berusaha menggunakan kalimat yang tidak menyakiti hati, padahal.

"Kak... makasih karena Kak Askar udah baik banget sama aku selama ini," cicit Kanala menyudahi.

Dua menit pertama yang diisi keheningan itu terasa seperti dua hari. Kanala menunduk atau melihat ke arah lain atau ke ujung sepatunya sendiri; ke manapun asal tidak menatap wajah Askara.

"Sakit ternyata, La."

Kanala mendongak. Namun, yang dia temui malah sebaris senyum lurus Askara.

"Gue udah menduga lo bakal nolak gue, La. Tapi gue gak menduga rasanya bakal sakit ternyata," lanjut Askara dengan tawa kecil.

Seperti tersangka, Kanala menunduk dalam. Kanala pernah berada di posisi Askara dan jelas dia tahu bagaimana rasanya. Hanya saja, bukannya tidak menyesal atau tidak mau berangkat dari pengalaman, Kanala hanya tidak bisa melakukan sesuatu yang tidak diinginkan hatinya.

Melakukannya hanya akan menjadikan Kanala sebagai penjahat.

Ini jelas berbeda dari seleksi olimpiade ekonomi, jurusan IPS, liburan yang dibatalkan, atau hal-hal lain yang diatur Pandu untuknya. Selama ini Kanala bisa menjalaninya demi Pandu, demi anak baik yang diinginkan Pandu, demi rasa terima kasih, atau demi menghilangkan rasa tidak tahu diri dan perasaan durhaka.

"Maaf, Kak Askar," lirih Kanala di sisa-sisa akal sehatnya.

Askara mengulurkan tangan ke arahnya. Menyentuh sisi kepalanya dan mengusapnya pelan. "Gak apa-apa, kok, La. Gue udah bilang ke lo untuk jangan merasa terbebani. Toh, lo nolak gue karena memilih diri lo sendiri. Gue akan anggap itu sebagai kebaikan lo ke gue supaya gue gak ngerasa sakit," tuturnya lembut.

Djakarta, Pukul 11.11Where stories live. Discover now