37. Akhir dari Pencarian

54 9 2
                                    

"Dan lo malah gak mau nyari dia?"

Di seberang sana, Janu bertanya sarkas. Hidungnya memerah. Melewati cuaca dingin Leiden di awal tahun pasti jadi rintangan terberatnya. Dengan keadaan begitu, Kanala masih sempat-sempat menghubunginya via skype untuk mengatakan ini; "Benua ada di Jogja."

"Bukannya lo pengen ketemu dia?" Suara Janu melunak.

Kanala menggigit bibir bawah. "Aku ragu," katanya. "Toh, kalaupun benar kami ada di kota yang sama, aku gak tahu dia ada di mana. Gak ada yang benar-benar tahu dia di mana."

Kanala ingat lagi percakapannya dengan Askara sore tadi. Ternyata, Kanala tidak sendirian. Ada banyak teman-teman Benua yang bertanya ke mana hilangnya cowok itu. Benua Kalundra lenyap begitu saja. Tidak bisa dihubungi. Tidak menghadiri acara perpisahan sekolah. Satu-satunya kabar yang mereka dapat hanyalah dari seorang teman sekolahnya dulu yang pernah melihatnya di Jogja.

"Pasti terjadi sesuatu sih, La, sama Benua. Gue gak tahu apa. Tapi kalo dipikir-pikir, mungkin gak sih, orang yang hidupnya tenang-tenang aja kayak Benua—keliatannya—mendadak hilang gak ada kabar. Pasti ada sesuatu makanya dia pergi bahkan tanpa pamitan," kata Askara sore tadi.

Askara menambahkan lagi, bahwa dirinya tidak berteman sedekat itu dengan Benua. Mereka hanya saling mengenal, lalu sering berkumpul di tempat yang sama bersama anak-anak cowok kelas 12 saat itu. Askara jadi tidak tahu banyak soal Benua, termasuk alasannya menghilang tiba-tiba.

"Sekarang gini deh, La. Lo mau apa?" Pertanyaan Janu menyentak kesadaran Kanala kembali ke bumi. "Jawab jujur," tambah Janu.

"Aku pengen ketemu sama dia. Ada sesuatu yang gak selesai antara aku sama Benua," ungkap Kanala lirih.

"Kalau gitu cari, La. Ntah gimana caranya lo harus berusaha nemuin dia."

"Ke mana?"

"Ya... ke mana aja. Lo tanya siapa kek."

"Gak ada yang tahu info apapun tentang dia, Jan."

"Duh, capek deh gue. Ini Benua yang mana sih orangnya? Pengen banget gue ketemu terus ngacak-ngacak otaknya. Gara-gara dia mulu lo kayak gini. Bahkan waktu lo udah mulai sembuh, dikiiiit aja kabar tentang dia, lo sakit lagi," repet Janu.

Kanala menyimak hikmat. Tidak membantah. Bahkan, Kanala mulai ragu Benua akan menemukannya melalui puisi-puisi pukul 11.11 itu—ah, sekarang Kanala bahkan ragu apakah cowok itu masih mengingatnya.

***

Meski tanpa stylish pribadi, Kanala tampak cantik siang ini. Rambut panjangnya dicatok bergelombang yang diakhiri dengan sentuhan ikat rambut berwarna hitam. Dress peach di bawah lutut itu tampak serasi dengan flatshoes putih gading yang dikenakannya--kadang Gentari bertanya-tanya bagaimana Kanala di tengah kesibukan dan upaya pulihnya masih memiliki waktu untuk mempelajari fashion, padahal saat SMA dulu Gentari jauh lebih eksis daripadanya. Kanala menutup penampilannya dengan sling bag pemberian Gentari di ulang tahunnya beberapa bulan lalu.

Jika setiap hari adalah lembar-lembar buku, tentu Kanala akan menandai hari ini dengan pembatas buku berwarna mencolok, lalu mewarnai setiap barisnya dengan stabilo warna kuning menyala.

Hari ini, setelah perjalanan mimpinya yang panjang dan kegagalan-kegagalan yang tak putus, akhirnya Kanala bisa berada di antara ratusan bahkan ribuan orang-orang yang turut hanyut dalam Djakarta, Pukul 11.11. Setelah bertahun bersembunyi di balik nama Langit Kelabu, akhirnya penyair Djakarta, Pukul 11.11 itu muncul atas sosok Kanala Btari Sora.

Kanala menikmati acara peluncuran sekaligus bincang bukunya itu dengan senyum merekah di sepanjang acara. Penuh semangat. Terlebih ketika matanya menangkap sosok mama dan papanya, Gentari, Mas Wawan, bahkan Yasa berada di antara audiens.

Djakarta, Pukul 11.11Where stories live. Discover now