42. Mengulang Kenangan 2

43 10 1
                                    

Kanala memperpanjang liburannya di Jakarta seminggu lagi. Pandu sempat uring-uringan dengan mencecarnya di telepon, menanyai apa alasannya tetap di Jakarta, membiarkan tiket kereta ke Jogja hangus begitu saja, bahkan melewatkan kumpul keluarga besar Pandu di Jogja.

"Okelah, liburan kamu, Papa, sama Mama bisa ditunda. Tapi Eyang Uti bakal nanyain kamu, La. Papa mau jawab apa? Janu aja yang dari Leiden bisa dateng. Lah kamu, yang udah tinggal di Jogja, tapi malah gak bisa ikut ngumpul." kata Pandu di telepon kemarin. Nada suaranya terdengar kecewa.

Namun, Kanala bersikukuh. Ada sesuatu, setidaknya seminggu ini, yang tidak bisa dia tinggalkan di Jakarta. Kumpul keluarga besar di Jogja masih bisa dia hadiri di liburan akhir tahun nanti, atau tahun depan. Tidak dengan kemelut perasaannya yang menuntut jawaban jelas. Saat ini.

Maka menjelang siang ini, beratus-ratus kilometer dari kediaman Eyang Uti di Jogja yang tengah ramai-ramainya oleh suara obrolan, Kanala mengikat tali sneakersnya telaten. Gadis itu bersiap pergi. Usai memastikan, sekali lagi, bahwa kompor bekas menjerang air untuk menyeduh kopi tadi pagi tidak menyala, pintu dapur dikunci, seluruh jendela dikunci, Kanala benar-benar meninggalkan rumah.

Sebuah jeep abu tua terparkir di depan rumahnya saat Kanala membuka pagar. Dari kaca jendelanya yang dibiarkan terbuka, Benua melambai dan tersenyum cerah. Kanala membalas sapaannya singkat sebelum berkutat sebentar untuk mengunci pagar.

"Mobil siapa, Kak?" tanyanya begitu duduk di sebelah Benua.

"Aku sewa. Buat kamu banget, nih, biar gak pegel nunggu bus," jawabnya dengan kekehan pelan sembari melajukan mobil perlahan meninggalkan komplek rumah Kanala.

"Padahal aku gak ada masalah loh, dengan naik bus. Aku malah seneng. Entah kenapa. Walau kadang sumpek waktu banyak penumpang, aku seneng aja gitu duduk di bus." Kanala menjelaskan.

Benua hanya mangut-mangut dengan senyum tipis. Pria itu jelas tahu. Kebiasaan kecil Kanala tidak banyak berubah sejak dulu.

Langit Jakarta di ujung pagi itu cerah. Hanya ada awan-awan putih tipis yang bergelantungan. Hangat. Sehangat obrolan Kanala dan Benua di mobil sepanjang perjalanan menuju Rumah Kasih Putih--obrolan yang tidak jauh-jauh dari mengenang masa sekolah yang menyenangkan.

"Kalau ditanya sekarang, kapan waktu yang paling aku rindukan dalam hidupku, waktu itu adalah jawabannya, La. Masa remaja di SMA Darmawangsa," cerita Benua mengakhiri kenangan mereka.

Kanala menoleh. Menatapnya bimbang. Jelas mereka berkebalikan. 3 tahun di SMA Darmawangsa, hanya beberapa bulan selama ada Benua, Kanala merasa baik-baik saja. Namun, tak urung gadis itu menimpali. "Apa masa-masa indah Kak Nu berhenti di waktu itu?"

Benua mengangguk kecil. Tatapannya masih terpusat pada jalanan Jakarta yang tidak cukup lengang. "Satu-satunya kekhawatiranku saat itu hanya kuis dadakan fisika. Di masa itu aku ketemu orang-orang yang bener-bener temen, sahabat, ketemu orang-orang di organisasi yang luar biasa keren, kadang-kadang dihukum bareng di lapangan, ketemu kamu," Benua menoleh sesaat, tersenyum kecil, lalu melempar pandangan kembali ke jalan, "juga ada Bella. Waktu itu aku gak berpikir bakal kehilangan satu-satunya adikku, satu-satunya saudara yang aku punya, La. Saat itu aku hanya berpikir kami bisa tumbuh dewasa bareng-bareng."

Atmosfir di sekeliling keduanya menyendu. "Tapi pada akhirnya, Kak Nu memilih menjauhi segala hal yang buat Kakak bahagia," teriak batin Kanala. Gadis itu tidak berani menyuarakannya. Tidak sanggup menyinggung luka Benua, yang meski itu artinya melukai dirinya sendiri.

"Aku terlalu naif, ya, La?" celetuk Benua. Mobil yang mereka kendarai memasuki jalan lebih kecil dari jalan utama, jalan menuju kampung Rumah Kasih Putih.

"Naif kenapa?" tanya Benua.

"Aku tahu Bella mulai sakit-sakitan waktu aku kelas enam. Dia bahkan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, kecuali sekolah, daripada bareng temen-temennya. Tapi aku masih bisa-bisanya berpikir Bella bakal sembuh suatu saat. Aku bakal bisa tumbuh dewasa bareng-bareng."

Djakarta, Pukul 11.11Where stories live. Discover now