39. Di Atas Meja

47 9 0
                                    

0812****

Kanala, bisa bertemu hari ini?

-Benua

Pesan yang ditunggu-tunggu Kanala akhirnya tiba sesaat setelah kelas Seminar Sastra selesai. Pukul satu siang. Lekas Kanala mengemasi buku-bukunya dan berderap cepat keluar kelas.

"Mau ke mana buru-buru, La?" Wening, teman sekelasnya sempat bertanya.

Kanala tidak punya waktu untuk menjelaskan. Gadis itu hanya menjawab sekadarnya bahwa dia harus bertemu seseorang. Tak lupa Kanala meminta maaf karena harus melewatkan diskusi terkait perkuliahan mereka hari ini.

Kesepakatan mereka, dirinya dan Benua, mereka akan bertemu pukul dua di angkringan yang tak jauh dari kampus Kanala. Kanala menghabiskan waktu yang tak seberapa lama itu untuk singgah ke masjid dan menunaikan salat dzuhur di sana sebelum berangkat menemui Benua.

Hasilnya, Kanala tiba lima belas menit lebih awal dari perjanjian.

"Kanala!"

Sigap Kanala mengangkat kepala. Benua baru saja tiba. Pria itu melambai ringan dengan senyum lepas. "Sudah pesan?" tanyanya begitu duduk di hadapan Kanala.

Kanala menggeleng. Dia bahkan tidak tahu apakah ada sesuatu yang diinginkan perutnya saat ini. "Aku nunggu Kak Nu," jawabnya.

"Aku yang pesen nih, ya. Kamu mau makan apa?"

"Samain aja sama Kak Nu," putus Kanala.

Tak lama, pesanan mereka tiba. Di menit ke lima, Benua buka suara, memulai ceritanya.

"Maaf buat kamu menunggu lama waktu itu, La." Begitu Benua membukanya. Rasa nasi soto di depan Kanala mendadak campur aduk.

"Adikku meninggal, sehari setelah kita ketemu di halte dan janji akan datang ke Rumah Kasih Putih akhir pekannya. Aku... hancur banget waktu itu, La. Bukan hanya aku, tapi seluruh keluargaku."

"Maaf, Kak. Aku gak tahu," sambut Kanala.

Benua tersenyum sumir. Pria itu menyesap sedikit es tehnya. "Mau dilihat dari segi manapun, ini salahku, La. Harusnya mau sehancur apapun aku saat itu, aku harus menepati janjiku ke kamu. Tapi aku malah jadi pengecut yang pergi gitu aja tanpa ngasi penjelasan apapun ke kamu. Aku baru tahu seburuk apa yang aku lakuin ke kamu waktu aku baca buku kamu, La."

Ada sesuatu tak kasat mata yang menghantam jantung Kanala. Tepat ke intinya. Apa artinya selama ini, saat Kanala hancur-hancuran karena kepergiannya, Benua menganggap semuanya baik-baik saja?

Kanala tersenyum getir. Rasa sotonya benar-benar buruk. Gadis itu bahkan tak sanggup lagi untuk mendongak dan menatap mata Benua.

"Keluargaku pindah." Namun, Benua masih melanjutkan ceritanya. "Cuma selang beberapa hari setelah Bella, adikku, meninggal. Kami sekeluarga pindah ke Solo. Aku gak sempat ngasi kabar ke siapapun. Aku hancur banget, La. Hancur banget sampai-sampai... aku memilih buat mundur, buat ngelupain Jakarta karena terlalu bangak kenangan tentang Bella di sana."

Kanala menggigit bibir bawah resah. Dia bahkan tidak sanggup untuk mengatakan bahwa upaya Benua melarikan diri dari rasa sakitnya memberikan rasa sakit baru untuk Kanala.

"Maaf, La. Maaf membuat kamu menunggu selama itu. Maaf membuat kamu tersiksa seperti itu." Benua mengakhiri ceritanya. Pria itu menatap jauh ke dalam matanya. Mencegah air-air yang hampir menganak sungai di pipi Kanala.

Dengan getir, Kanala tersenyum. "Gak apa-apa, Kak. Aku paham," katanya. Meski dalam dadanya, ada yang berdenyut sangat nyeri.

Mereka kembali makan. Kembali menghadapi suap demi suap dengan hening. Hingga akhirnya, Benua menyeletuk lagi. Tampak ragu.

Djakarta, Pukul 11.11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang