Who Are You?

15.3K 752 11
                                    

Tak pernah terbayang akan menjadi seperti ini pada akhirnya

Semua waktu yang telah kita lewati bersamanya tlah hilang dan sirna

Hitam putih berlalu
Janji kita menunggu
Tapi kita tak mampu
Seribu satu cara kita lewati tuk dapatkan
Semua jawaban ini

Bila memang harus berpisah
Aku akan tetap setia
Bila memang ini ujungnya
Kau kan tetap ada didalam jiwa.

Tak bisa ku teruskan
Dunia kita berbeda
Bila memang ini ujungnya
Kau tetap ada didalam jiwa

"SHIT!!!" Dengus Azka. Ia  mengutuk orang heartless yang dengan teganya memutar lagu itu. Lagu itu seakan menjelaskan segala isi hatinya.

Dunia kita berbeda...

Azka meneguk kembali ice americano miliknya hingga tandas. Ia sudah tidak kuat berada di cafe ini. Jika saja ia tidak kelaparan tadi ia akan datang kesini. Makan di cafetaria rumah sakit hanya akan membuatnya mual dengan bau obat-obatan di rumah sakit itu.

Hingga bunyi bell cafe tersebut berbunyi nyaring saat seseorang masuk. Tubuh tegap dan menjulang seorang pria tampak. Disusul dua bocah kembar yang tadi ia lihat di rumah sakit itu.

"Celo mau ice cream!!!" Pekik anak itu girang saat mereka mengambil duduk di dekat meja milik Azka. Namun membelakangi posisi duduk Azka hingga ia tidak begitu jelas melihat ekspresi kedua bocah lucu itu.

"Kalau Zen mau apa?" Tanya pria itu sambil mengacak rambut anak laki-laki disampingnya.

"Tilamisu" jawab anak itu dengan cadel dan tetap fokus dengan robot-robotan ditangannya.

"Mbak, tiramisunya satu. Ice cream coklat satu. Hm... cappuchino dan caramel machiato satu dan red valvet nya satu aja" pesan pria itu pada waitress yang menunggu pesanan mereka.

Azka membalik badannya dan menyapa dengan ramah ketiga pria itu. "Hey boys" ucapnya sambil tersenyum. Dalam hati ia berharap anak-anak itu tidak akan menangis lagi seperti tadi.

"Kamu yang tadikan?" Tanya dokter muda itu. Kedua bocah itu hanya duduk diam dan mematapnya tanpa henti.

Azka mengangguk menjawab pertanyaan pria itu.

"Boleh om gabung?" Tanya Azka hati-hati.

Pria muda itu menganggukkan kepala dan mempersilahkan Azka duduk. Ia memilih duduk disamping dokter muda itu.

"Perkenalkan saya Derian  Dewantara. Panggil Deri saja Anda?" Raskal mengulurkan tangannya dan segera dibalas Azka dengan ramah.

"Saya Azka. Kebetulan adik saya salah satu pasien di rumah sakit anda"

Dokter Deri hanya menganggukan kepalanya. "Celo.. zen perkenalkan diri kalian ke om Azka" pinta Dokter Deri pada dua bocah yang sedari tadi menatap Azka dengan intens.

"Namaku Arzelo Altariq om. Bisa dipanggil Celo" ucap Celo sambil menyengir.

"Aku Alzen Altariq. Zen" celetuk  Zen dengan cadelnya.

Arzelo...
Arzen...
Nama yang indah.

Tapi Altariq? Kenapa mereka bisa memiliki nama belakang yang sama dengannya?

"Altariq?" Tanya Azka. Mulutnya benar-benar tidak bisa menahan keingintahuannya itu.

"Kata bunda itu nama Kakek" balas Zen yang terlihat lebih bersikap dewasa dibanding Celo.

Azka hanya menganggukan kepalanya. Nama Altariq memang nama ayahnya. Tapi tidak menuntut kemungkinan bahwa ada orang lain didunia yang memiliki nama yang sama seperti nama ayahnya.

"Om Azka mirip ayah" celetuk Celo dengan mata hitamnya yang mengerjap lucu saat mengatakannya.

Azka tersenyum. Bagaimana bisa mereka menyamakan Dokter Deri, ayah mereka dengannya?

"Kalian ini lucu sekali. Berarti om ganteng banget dong kalau disamain sama Dokter Deri" Azka mencubit pipi tembem kedua bocah laki-laki itu.

Keduanya menggembungkan pipi tembemnya karena kesal yang malah membuat Azka semakin gemas dengan kedua bocah ini. Aah... jika saja Nata dan calon bayi mereka masih hidup mungkin ia mungkin akan memiliki anak selucu ini.

Mereka terus menggobrol dengan asyik. Azka kini mengetahui kalau Dokter Deri adakah dokter pedriatric di rumah sakit itu. Pantas saja mudah baginya dekat dengan anak-anak itu. Dan Dokter Deri juga berasal dari Jakarta namun berpindah tugas di Makassar sejak 5 tahun yang lalu. Namun Azka salut dengan pria ini. Ia masih muda baru berusia 28 tahun namun ia telah memiliki dua bocah kembar yang lucu. Padahal pria seprofesinya mungkin lebih memilih mengejar karir mereka. Terlebih wajah tampan dokter itu. Ia mirip seperti Edward di Twilight. Dan Azka yakin dengan wajah itu akan banyak wanita yang mengejarnya.

"Bunda mana sih? Kok lama banget" Zen mulai mengeluh. Mereka sudah di cafe ini selama hampir sejam namun Bunda kedua bocah ini tidak juga muncul.

"Katanya dia udah dekat sini Zen. Sabar yah sayang. Bunda kamu lagi banyak pasien" Deri berusaha menenangkan Zen. Sementara kembarannya Celo masih tertidur lelap dalam pangkuan Deri. Bocah itu bahkan sudah 30 menit lalu tertidur.

"Hm... sorry saya ke toilet dulu" Azka berdiri dari tempatnya. Ia berbicara sedikit berbisik karena takut Celo terbangun.

Azka segera berjalan menjauh. Kepalanya mendadak pusing karena Jet lag. Perjalanan Jakarta- Makassar memang tidak sejauh Jakarta- New York yqng hampir berjalan-jam lamanya. Tapi tetap saja ia Jet-lag. Ia baru saja tiba dari Bandung mengurus cabang perusahaan ayahnya dan setibanya di Jakarta ia langsung menuju bandara saat mendengar adiknya masuk rumah sakit.

Setelah membasuh mukanya. Ia merasa lebih segar saat ini. Mungkin ia harus meminum aspirin saat pulang nanti.

Azka berjalan dengan langkah ringan menuju ke meja duduknya tadi. Hingga ia melihat siluet wanita yang tampak asyik berbincang dengan Dokter Deri.

Bentuk tubuh mungil itu tampak tidak asing. Apa mungkin? Ah... tidak! Itu bukan dia...

Azka berjalan perlahan. Suara tawa wanita itu tampak tidak asing ditelinganya.

Azka berusaha menajamkan pendengarannya hingga suara Dokter Deri mengagetkannya.

"Azka. Mari duduklah" ucap Dokter Deri dengan ramah.

Wanita itu ikut membalik tubuhnya. Hingga kedua iris mata hitam mereka bertemu.

Tubuh Azka melemas. Oksigen disekelilingnya menipis membuat ia sesak napas. Mata hitam pekat itu menatapnya tajam tanpa ekspresi. Namun mata itu adalah mata yang sama yang memandangnya lembut. Mata hitam pekat kesukaannya yang selama ini ia rindukan.

"Azka", gumam wanita itu.

Azka tidak lagi dapat berpikir jernih. Mungkinkah?

Mungkinkah itu dia? Tapi ini benar-benar diluar logikanya. Apa benar wanita dihadapan ku ini adalah dia?

Tuhan jika ini mimpi. Kumohon... komohon jangan bangunkan aku... Aku merindukannya hingga rasanya aku ingin meledak saat ini...

***
Special for today, I give you two chapter. Gue sibuk jadi kalau mau nulis agak sulit. Beruntung tadi gue udah kelar kerja tugas anatomi fisiologi gue dengan penuh perjuangan. Tangan dah keriting ngetik tugas, kepala mau botak baca buku kedokteran yg pake bahasa alien mana mau ditranslate dulu kalau mau nulis makalahnya. Berasa pengen ngulitin orang dijadiin alat percobaan anatomi! Hehe bercanda. (Curhat dikit gpp kan?")

Brokenheart CoupleWhere stories live. Discover now