Sial!

5.3K 222 0
                                    

Epril memuka matanya perlahan mendengar pintu kamarnya terbuka. Masih enggan untuk melihat siapa yang datang, Epril mulai memejamkan matanya lagi.

"Pril, bangun sudah siang".

Epril mendengar dan memilih untuk menghiraukannya. Dia tahu jika yang sedang membangunkannya ialah Rani.

Rani tidak pantang menyerah untuk membangunkan Epril. Dia mencari cara untuk membangunkan Epril. Akhirnya Rani mengambil ponsel Epril yang tergeletak di atas meja tempat tidurnya. Rani mengetik pesan entah untuk siapa.

Ponsel Epril bordering. Epril kesal karena itu menganggu tidurnya. "Ran, tolong reject teleponnya. Berisik"Gumam Epril kesal mendengar deringan teleponnya. Rani memilih menahan tawanya dan diam ditempat. Ia menekan tombol hijau memilih menerima telepon tersebut.

"Epril"

Epril yang mendengar suara berat dan ia sepertinya mengenali suara tersebut langsung terkejut dan membuka matanya lebar tanpa berbalik. Saat ini Epril tertidur menghadap jendela. Epril malu sekali jika ia berbalik. Karena saat ini ia hanya menggunakan bra dan celana yang pendek sekali. Ia menarik selimutnya takut suara itu mendekat dan melihat dirinya yang hanya menggunakan pakaian dalam.

Sementara Rani yang menekan tombol hijau menggantinya dengan panggilan video dan mengisyaratkan sesuatu.

"Sudah membuka matanya, Hm?"

Sekali lagi Epril mengeratkan selimutnya. Hawa takutnya semakin terasa saat ranjangnya sedikit bergerak.

"Ka-mu jangan duduk. Aku sudah bangun"Ucap Epril dengan takutnya.

"Berbaliklah"mendengar balasannya. Epril semakin takut, sama sekali tidak merespon jawaban Pria tersebut.

"Apa kamu tidur hanya menggunakan pakaian dalam, Epril?"

Mendengar pertanyaan tersebut Epril semakin menguatkan selimutnya. Seharusnya tadi malam ia tidak membuka pakaiannya karena hawa panas dikamarnya.

"Lebih baik kamu-"

Terdengar cekikikan seperti seseorang menahan tawanya. Membuat Epril semakin ingin membalikkan tubuhnya.

"BHAHAHAHHAHA"

"Gak bisa gue nahan ketawa, gila itu orang terlalu frontal"

Epril dengan sigap membalikkan tubuhnya. Dilihatnya hanya ada Rani yang sedang memegang ponsel miliknya dan tidak terlihat pria itu.

"Lo! Ngerjain gue, Ya?!" Kesal Epril lalu melempar bantal tidurnya ke muka mulus Rani. Rani yang menerima perlakuan tersebut langsung melemparnya balik.

"Tutupin tuh, Bra lo keliatan dan panggilan videonya belum berakhir"

"Sialan!"

Epril segera menarik selimutnya dengan takut dan muka sedihnya ia perlihatkan untuk Rani. Rani yang melihat Epril langsung menghampirinya. "Maaf bukan maksudku membuat kamu sedih dan malu. Aku hanya bercanda dan berniat untuk membangunkanmu. Aku juga tidak tahu kamu hanya menggunakan pakaian dalam saat ini. Aku tadi baru menyadarinya saat selimut kamu turun"

"Panggilan videonya sudah aku matikan kok Pril setelah dia menanyakan hal itu. Aku juga tidak ingin tubuh sahabatku yang sangat indah terlihat oleh laki-laki yang bukan kamu cintai"Lanjut Rani sambil memeluk Epril yang sedang ketakutan.

"Aku tahu pril kamu belum mencintai Steve. Aku bisa melihat dari raut wajahmu saat menatap steve. Tetapi saranku apa salahnya jika kamu menerima atau membuka hatimu untuk dirinya. Lagian kita bisa melaksanakan pernikahan secara bersamaan"Ucap Rani lembut. Sementara Epril melepaaskan pelukannya.

"Nikah?"

Seakan tahu arah pertanyaan Epril. Rani menjawab. "Iya, Satu bulan lagi aku akan menikah. Dan kamu juga harus menyusulnya. Sepertinya aku pikir-pikir Steve adalah pria yang yah lumayan lah"

Seakan tertusuk oleh belati saat Rani mengucapkan hal tersebut. Rasanya ingin meneriaki telinga Rani jika dirinya tidak bisa menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak ia cintai. Epril menatap Rani dengan penuh Tanya. Ia menatap bola mata Rani dengan detail.

"bola mata itu. Bola mata yang selama ini membuatnya kelu untuk menjawab semua perkataanmu. Bagaimana bisa aku meneriakinya sementara bola mata itu selalu memancarkan kehancuran dan kepedihan. Mungkin aku tidak bisa meramal atau seperti apa itu tetapi jika aku tetap memaksakan hatiku untuk bersamanya bola mata itu akan semakin menujukkan kepedihan. Hanya diri aku yang dia harapkan dan ia punya. Hanya Irsyad orang yang pantas untuk menjaganya. Dan membuat bola mata itu memancarkan aura kebahagian. Ya, hanya Irsyad"

"Pril, jadi bagaimana? Apa kamu setuju dengan ucapanku? Atau kamu bisa-"

"Aku akan menikah dengannya. Ya, Steve aku akan menikah dengannya. Kamu tidak perlu khawatir dan aku akan selalu mendengarkan ucapanmu. Kita akan menikah secara bersamaan"Balas Epril meyakinkan ucapannya.

"Tidak, aku tidak mau egois, Pril. Jika kamu tidak ingin menikah dengannya kamu tidak perlu mendengar ucapanku. Tetapi aku ingin bertanya apa ada seseorang yang kamu cintai?. Biar aku bawa orang itu ke hadapan Om dan tante dan menyuruhnya menikahimu"

Itu tidak akan mungkin bisa Rani

"Ak-u mencintai-"

Epril kembali menatap bola mata Rani yang sedang memperhatikan Epril. Epril bingung harus berkata jujur atau bagaimana. Dia sama sekali tidak ingin menyakiti Rani sahabatnya

"Steve"

Rani mendengarnya hanya mengerutkan dahinya. "apa kamu serius? Kamu tidak sedang berbohong bukan?"

Epril menggelengkan kepalanya. Rani kembali mencari keyakinan dari raut wajah sahabatnya itu. Meski Rani melihat sekilas ketidakyakinan yang dipancarkan Rani hanya menghilaukannya. "Baiklah. Yasudah aku kebawah dulu ya"

Rani meninggalkan Epril yang sedang melamunkan dan memikirkan ucapannya. "Apa ini keputusan yang benar?"Tanyanya sendiri. Lalu dengan cepat Epril menganggukan kepalanya seakan meyakinkan jawabannya.

Epril menyibakkan selimutnya ingin turun dari ranjangnya. Tetapi aktivitasnya terhenti saat pintu kamarnya dibuka oleh seseorang.

Melihatnya dengan cepat Epril kembali ke ranjangnya dan menarik selimutnya lagi. "Irsyad"

Irsyad menutup pintu kamarnya rapat lalu berjalann menghampiri Epril yang sedang ketakutan. "Kam-u mau ap-a"

Irsyad menatap wanita didepannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia menatap Epril yang ujung kaki sampai lehernya yang terbalu oleh selimut tidurnya. "Aku mendengarkan apa yang kamu ucapkan pada Rani"Ucapnya datar

Classy BoysWhere stories live. Discover now