36th Pole & Promotion

24.7K 3K 327
                                    

           

36th POLE

~~||~~

"Eh, lo udah jadi belum ketemuan sama Gavin?" tanya Rahagi disela-sela aktivitasnya.

Kedua saudara itu tengah duduk di ruang tengah rumah mereka. Minggu ini minggu ujian kenaikan kelas. Rahagi sedang mengajari Inara ber-matematika, mengingat perempuan itu tidak suka hitung-hitungan.

Sebagai balasannya, Inara memberikan Rahagi ringkasan sejarah yang sudah ia buat sesuai dengan kisi-kisi ujian.

"Astaga, gue baru inget kalo chat dia waktu itu gue read doang." Inara menatap Rahagi dengan mata membulat.

"Parah."

"Ntaran aja deh, kelar ukk gue beresin. Btw, tadi limit yang ini gimana caranya?"

"Yang ini ada cara cepatnya. Rumusnya ini." Rahagi menuliskan rumus yang ia hafal di kertas milik Inara.

Gadis itu manggut-manggut.

"Kalo limit aljabar tinggal dimasukin doang kan?"

Rahagi mengangguk, mengiyakan pertanyaan Inara. "Tapi nggak boleh nol per nol."

Tiba-tiba, ponsel lelaki itu berdering, menampilkan nama Dara di atasnya. Perasaan Rahagi mendadak tidak enak. Ada berita apa sampai-sampai adik Vara itu meneleponnya?

"Halo," sapa Rahagi setelah mengangkat telepon dan mendekatkan ponselnya ke telinga.

"Rag, ini gue Faro." terdengar suara panik milik Faro–kakak laki-laki Vara–di seberang sana.

"Kenapa?" tanya Rahagi ragu.

"Vara." Faro menghela napasnya sejenak. "Vara meninggal!"

Dua kata yang berhasil membuat Rahagi seakan-akan diselimuti petir yang memekakkan telinga.

Vara meninggal.

"Gue ke rumah sakit sekarang." Rahagi mematikan ponselnya dan segera berdiri dari duduk bersilanya.

"Kenapa, Rag?" tanya Inara panik.

"Vara." Rahagi melirik Inara sejenak. "Meninggal."

Inara menutup mulutnya seraya mengucapkan, "Innalillahi wa inna ilahi rojiun." gadis itu ikut berdiri dan mengekori Rahagi yang mengambil kunci mobil.

"Gue ikut."

# # #

Sore ini, setelah salat Ashar, jenazah Vara dikebumikan. Cukup banyak yang hadir menghantarkannya ke peristirahatan terakhir. Namun, kedua orang tua Vara berhalangan karena belum mendapat tiket untuk kembali ke Indonesia.

Kedua orang tuanya memang sangat sibuk. Bolak-balik Indonesia dan luar negeri sudah biasa bagi mereka.

Rahagi dan Inara termasuk dalam rombongan yang ikut menghantarkan Vara. Sepanjang perjalanan dari masjid ke pemakaman, Rahagi tidak banyak bicara–meskipun biasanya dia juga tidak banyak bicara. Dengan pakaian serba hitam, lelaki itu larut dalam lamunannya.

Inara yang kali ini berpakaian serba putih dengan selendang hitam yang menutupi rambutnya, hanya bisa diam memperhatikan Rahagi.

Menurutnya, Vara adalah gadis yang baik. Cukup sering ia menemani Rahagi menjenguk Vara ke rumah sakit. Cukup sering pula ia bertukar cerita dengan Vara. Entah itu tentang serunya memiliki adik perempuan, atau serunya menjadi ketua kedisiplinan di sekolah.

Inara ingat ketika Rahagi meninggalkannya berdua dengan Vara kala itu.

"Na." Vara meraih tangan Inara dan menggenggamnya erat. "Gue titip Ragi."

AntipoleDonde viven las historias. Descúbrelo ahora