44th Pole

24.9K 3.4K 753
                                    

           

44th POLE

~~||~~

"Ibu juga tidak menyangka akhirnya akan seperti ini."

Inara hanya menunduk.

"Mata-mata terdahulu, hanya anggota Blackpole saja yang mengetahuinya. Tidak sampai disebar ke seluruh penjuru sekolah."

"Kalau menurut Inara, ini bukan ulah anggota Blackpole, Bu."

"Bisa jadi, sih, Nara. Siapa yang kamu curigai?"

"Yang pastinya bukan anak jurnalistik, Bu. Bisa aja oknum Blackpole atau mata-mata terdahulu?"

"Mata-mata terdahulu?"

Inara mengangguk. "Iya, Bu. Soalnya, cuma dua kelompok itu yang ada hubungannya sama Blackpole, dan mau ngurusin urusan yang bagi kebanyakan orang nggak terlalu penting ini, Bu. Logikanya, cuma orang-orang yang 'peduli' yang mau ngurusin."

Bu Aminah mengangguk. "Analisis kamu masuk akal juga, Nara."

"Oh ya, Jack udah bilang kan, Bu, kalau nanti sore kita bakal bicarain ini bertiga?"

Bu Aminah kembali mengangguk. "Udah. Kemarin ibu juga udah jelasin baik-baik ke guru pembina dan mereka paham. Mereka juga bersedia nutup mulut."

"Makasih, Bu." gadis itu tersenyum. "Tapi Inara belum mau ngangkat topik 'motivasi masuk Blackpole' ke sidang pengurus OSIS-MPK, Bu. Takutnya mulut mereka ceplas-ceplos ke luar forum."

Bu Aminah membelai rambut Inara. "Yang kamu lakuin udah benar, Nara. Emang sebaiknya cuma bertiga–sama Jack–kita bicarain hal ini."

Selama pelajaran geografi, yang dilakukan Inara hanya bermenung. Gadis itu bahkan tidak membuat catatan-catatan kecil di pinggir bukunya–seperti yang biasa ia lakukan. Sabrina tentu menyadari hal itu.

Sabrina menghentikan aktivitas menulisnya. Gadis itu menyikut lengan Inara pelan. "Na," bisiknya.

Inara menoleh dan menatap Sabrina. Tatapan yang sayu, tidak seperti sebelum-sebelumnya.

Melihat wajah Sabrina, hanya perasaan bersalah yang terus menghampiri. Rasanya gadis itu ingin mengucapkan kata maaf hingga Sabrina muak mendengarnya.

"Jangan tatap gue begitu." Sabrina mendengus kemudian kembali menyalin catatan di papan tulis.

"Maaf, Sab."

"Gue bosen sama maaf lo, Na. Udahlah, santai aja."

Inara mengulas senyumnya. "Makasih, Sab."

"Lo formal banget tahu nggak, Na? Sana salin catatan! Jangan bengong mulu. Ntar gue salip nih juara satunya." Sabrina membalik halaman buku yang sudah penuh oleh tulisan tangannya.

"Gue baru sadar sesuatu. Tumben-tumbenan lo nyatat."

Sabrina memukul tangan Inara dengan pena. "Kurang ajar. Gini-gini gue rajin, ya, Na!" bantahnya tidak terima.

Inara tertawa kecil.

"Inara Sekar Ayu!" panggil Bu Weni, guru geografi yang sedang membolak-balik buku paket di depan kelas. Mencari poin mana yang sekiranya perlu untuk ditulis di papan tulis.

Yang dipanggil refleks menegakkan punggungnya. "Ya, Bu?"

Seluruh murid yang ada di kelas itu menengok ke arahnya.

"Kalau mau ketawa-ketiwi, keluar dari kelas saya," ucapnya galak.

Inara meringis, begitu juga dengan murid-murid yang lain. Ini pertama kalinya seorang Inara Sekar ditegur begitu oleh guru.

AntipoleWhere stories live. Discover now