47th Pole

26.5K 3.8K 1.4K
                                    

47th POLE

~~||~~

Dini hari ini, Inara mau mencoba berbicara dengan Rahagi. Sejak kejadian di kafe kemarin, gadis itu selalu berusaha untuk menjelaskan kepada Rahagi. Akan tetapi, lelaki itu selalu menghilang dari pandangannya–jelas sekali sedang menghindarinya. Ia pergi pagi-pagi sekali, lalu saat pulang langsung masuk ke dalam kamar.

Ketika makan malam pun, Rahagi hanya fokus kepada makanannya. Paling hanya menimpali perkataan ayahnya beberapa kali.

Sejak berita itu beredar pula, Inara selalu pulang dengan ojek online, seperti kebiasaannya dahulu sebelum ibunya menikah dengan ayah Rahagi–walaupun dahulu terkadang Tyas menyempatkan diri untuk menjemput Inara, tetapi sekarang ibunya itu benar-benar sibuk untuk sekadar menjemputnya.

Seperti biasa, jam dua pagi gadis itu turun dari kamarnya untuk membuat cokelat panas. Namun, ia tidak menemukan Rahagi di teras belakang seperti biasa.

Ke mana dia? Tumben.

Inara berspekulasi bahwa lelaki itu masih tidur di kamarnya. Dengan langkah gontai, Inara mengambil cangkir untuk membuat cokelat panasnya.

Tak lama berselang, bunyi kunci yang diputar terdengar dari pintu utama. Gerakan Inara terhenti.

Siapa yang datang pagi-pagi begini?

Seingatnya, Tyas dan Wira sudah pulang sekitar jam sepuluh malam tadi.

Berusaha untuk berpikir positif, Inara kembali mengaduk bubuk cokelat yang sudah dicampurnya dengan air panas.

Saat keluar dari dapur–berniat ke ruang keluarga, disaksikannya Rahagi berjalan lunglai menuju sofa ruang keluarga. Namun, belum sampai ia di dekat sofa, lelaki itu menjatuhkan dirinya ke lantai.

"Ragi!" Inara terbelalak melihatnya, lalu meletakkan cangkir cokelat panasnya di atas meja makan sebelum menyusul Rahagi ke ruang keluarga.

"Lo kenapa?" gadis itu menyentuh pundak Rahagi.

Dengan kasar, lelaki itu menepis tangan Inara. Ia masih menunduk, setia menemani dinginnya lantai. "Nggak usah sok peduli."

Rahagi menjambak rambutnya frustasi.

"Gue papah ke kamar, ya?"

"Udah gue bilang nggak usah sok peduli!"

"Tapi gue emang peduli!" jawab Inara tidak tahan dengan sikap keras kepala Rahagi.

Wajar sih, dirinya memang bersalah di sini.

"Gue nggak butuh kepedulian lo."

Tanpa menghiraukan ucapan Rahagi, Inara meraih tangan Rahagi dan melingkarkannya di pundaknya. Tubuh mungil gadis itu berusaha mengangkat tubuh Rahagi. Bau rokok yang sangat menyengat tercium oleh Inara, membuat gadis itu menerka-nerka sudah berapa bungkus rokok yang dihisap oleh kakak tirinya itu.

Rahagi melepaskan rangkulannya di pundak Inara dan menjatuhkan dirinya ke atas sofa.

"Leave me alone." lelaki itu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa kemudian menutup mata. Napasnya terasa berat.

"Lo udah ngerokok berapa bungkus?" gadis itu duduk di samping Rahagi. Tidak terlalu dekat. Menyisakan tempat untuk satu orang di antara mereka.

"Buat apa lo tahu? Nggak ada hubungannya sama lo."

"Jelas ada!"

"Apa?!" tantang Rahagi seraya membuka mata. Lelaki itu menatap Inara sengit. "Karena lo mata-mata dari komunitas yang gue pimpin?"

AntipoleWhere stories live. Discover now