Bunga Terakhir

1.8K 46 0
                                    

Ujian Nasional sudah masuk hari terakhir, itu tandanya sebentar lagi masa-masa break  pacaran gue sama Bunga berakhir. Beneran enggak sabar buat menunggu saat-saat itu tiba.

Jujur aja sejak hari pertama ujian, gak ada satupun pesan yang gue kirim ke Bunga. Gimana mau ngirim, perjanjian break kami itu salah satunya termasuk tidak mengirim pesan, baik berupa whatsapp, sms, ataupun lainnya. Bahkan dalam bentuk kode morse sekalipun.

Meskipun gue enggak ngirim pesan semangat buat Bunga, tapi tetep gue kirim do'a supaya dia bisa lancar ngerjain semua soal ujiannya dari hari pertama sampai hari ini.

Sepanjang perjalanan pulang kuliah, gue liat beberapa anak sekolah melampiaskan kegembiraan mereka dengan mencorat-coret seragam yang mereka pakai sejak kelas satu. Banyak yang bilang pemborosan, tapi tidak sedikit juga yang menganggap itu adalah ekspresi kegembiraan mereka.

Kalo menurut gue sih, dua pendapat itu benar. Soalnya gue juga dulu ikut coret-coretan, lebih buat kenang-kenangan sih. Tapi tetep baju yang satu lagi gue sumbangin, jadi gue bisa mengiyakan pendapat orang yang bilang itu pemborosan, dan juga mengamini mereka yang bilang kalau itu adalah luapan kegembiraan. 

Tapi sayangnya, baju yang mestinya buat kenang-kenangan itu malah ga jadi kenangan. Gara-gara si mbok yang biasa nyuci baju keluarga gue dengan tenangnya menambah banyak pemutih ke baju gue. Alhasil baju gue malah bersih seperti baru, coretannya gak ada yang tersisa.

Tak terasa malam menjelang, sejak tadi siang gue sengaja enggak menghubungi Bunga. Karena gue gak mau mengganggu hari-hari terakhirnya di sekolah bersama teman-temannya.

"Test..." Pesan itu gue kirim lewat whatsapp, tapi cuma ada satu centang di sana.

Mungkin lagi enggak aktif, baterenya abis. Pikir gue dalam hati, lalu melanjutkan dengan main game di hp.

Satu jam menunggu, tapi ternyata tetap saja masih centang satu di tampilan layar percakapan kami. Tandanya pesan belum terkirim.

Akhirnya gue coba untuk menelepon nomernya Bunga.

"Maaf, nomer yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar area kami!".

Hanya suara operator yang ada di sana.

Tanpa kenal lelah gue coba berkali-kali untuk menghubunginya, tapi tetap suara operator yang menjawab. Sampai akhirnya gue pun menyerah.

Keesokan harinya, sepulang kuliah gue langsung meluncur ke rumahnya Bunga. Rasa kangen, penasaran dan juga takut menghampiri gue sepanjang perjalanan. Sampai akhirnya gue tiba di sebuah pintu rumah bercat hijau yang dulu pernah ditunjuk oleh Bunga.

"Assalamualaikum!," Kata gue sambil mengetuk pintu kayu itu pelan-pelan.

"Waalaikumsalam!," Seorang wanita paruh baya membuka pintu dan memandang gue dengan heran.

"Bunga ada bu?," Gue langsung menanyakan Bunga sambil mencium tangannya, sementara wanita di depan gue ini masih terheran-heran.

"Bu-Bunga?, masuk dulu nak, biar saya panggilin ibunya Bunga!," Jawabnya sambil membuka pintu lebar mempersilakan gue untuk masuk.

"Ibunya Bunga?, bukannya ibu..."

Belum sempat gue menghabiskan kata-kata, wanita di depan gue menjawab, "Saya bukan ibunya Bunga, saya cuma pembantu di sini. Sebentar yah saya panggilin ibunya Bunga!".

Gak gue sangka, ternyata gue salah sangka lagi. Gue kira perempuan tadi ibunya Bunga, ternyata pembantunya Bunga.

Tak berapa lama masuklah seorang wanita berpenampilan anggun, wajahnya enggak jauh seperti Bunga. Kalau yang ini baru gue yakin ibunya Bunga. Gue langsung bangun dari tempat duduk lalu mencium tangannya. 

"Saya Tomi, Bu!".

"Iya, Ibu tau, Dulu Bunga sering cerita tentang kamu nak!," Katanya sambil mengelus kepala gue, lalu ia terdiam.

"Bunga kemana, Bu?".

Air mata menetes di pipi ibunya Bunga, lalu ia menyekanya. "Nak Tomi, Bunga sudah meninggal. Seminggu sebelum ujian Nasional!".

Bagai petir menyambar, gue langsung terdiam. Gak tau mesti berbuat apa, orang yang gue sayang udah enggak ada. Ah, mungkin ini cuma mimpi aja, atau sebentar lagi Bunga akan keluar dari kamar dengan pakaian yang rapi mau ngasih kejutan buat gue karena kita udah enggak break lagi.

"I-Ini bohongan kan Bu?, Bunga ada kan bu?".

Si ibu menggeleng, menandakan kalau sanggahan gue itu salah.

Sore itu ibunya cerita kalau Bunga terkena demam berdarah, seminggu sebelum ujian Nasional, Bunga memang sering pulang sore. Ada tambahan pelajaran untuk pemantapan ujian di sekolahnya.

Karena konsentrasinya untuk lulus ujian dengan nilai bagus, Bunga tidak menghiraukan demam yang dideritanya. Sampai akhirnya ketika sampai di rumah Bunga terjatuh dengan hidung mengeluarkan darah, panasnya meninggi. Tapi sayangnya begitu sampai di rumah sakit, nyawa Bunga tidak tertolong lagi.

Sore itu hening menggelayut, langit pun seolah tahu yang sedang gue rasakan. Langit mendung tiba-tiba menggelayut. Setelah mendengarkan semua cerita ibunya tentang Bunga, dan semua kata-kata Bunga tentang gue. Gue pun pamit pulang, tapi tidak untuk pulang.

Hujan masih turun di langit Jakarta, sepatu yang gue pakai basah kuyup dan terkena noda tanah merah. Tanpa payung, gue menunduk di depan pusara Bunga. Semua bayangan tentang Bunga seolah menjadi film latar belakang pertemuan kami di dunia yang sudah berbeda.

Setelah doa yang gue panjatkan buat Bunga, gue pun beranjak pulang karena malam siap menggantikan senja.

Wajahmu selalu terbayang dalam setiap angan

Yang tak akan pernah hilang walau sekejap

(Kasih Janganlah Pergi - Bunga)

AKAD (Full)Where stories live. Discover now