Secangkir Kopi

1.2K 37 0
                                    

Setelah kejadian malam itu, Gita enggak pernah lagi menghubungi gue. Suatu ketika gue dapet kabar kalo dia menjadi musisi Indonesia yang ikut kejuaraan di luar negeri. Mendengar kabar itu, gue jadi bersyukur. Meskipun gue berharap dia masih inget gue.

Embun juga menghilang enggak ada kabarnya. Bahkan di kampus, gue enggak pernah ketemu dia. Awalnya gue mengira dia pindah kampus, karena sekalipun enggak pernah gue lihat batang hidungnya. Gue sempat nanya ke teman angkatannya, ternyata Embun ambil cuti kuliah satu semester.

memasuki semester akhir, mata kuliah yang gue ambil semakin sedikit. Gue mulai memberanikan diri buat kerja sampingan, kebetulan ada satu kedai kopi yang membutuhkan pekerja lepas waktu. Gue pun memberanikan diri buat melamar di sana, meskipun tanpa sedikit pun pengetahuan tentang kopi. Boro-boro tau, suka kopi aja enggak.

Awalnya sih emang canggung, karena sepulang kuliah gue harus langsung kerja. Tapi lama-lama gue makin terbiasa. Baristanya juga sering banget ngajarin gue tentang kopi, sampai akhirnya dianggap sebagai barista sidekick alias barista pendamping.

Dari kerjaan inilah gue ketemu sama seorang gadis, rambutnya waktu itu pendek sebahu dan bergelombang, matanya bulat dan indah. Lagi dan lagi gue jatuh cinta sama gadis bermata bulat. Namanya Putri, dia sekarang ada di duduk di samping gue, jadi istri gue.

Awal ketemu sama Putri sih kejadiannya biasa aja, dia datang sama cowoknya. Putri memesan cappuccino panas sedangkan cowoknya selalu pesan es teh leci. Ternyata mereka sering banget datang ke kedai, karena kampus mereka dekat tempat kerja gue.

Saking seringnya datang, gue jadi sering curi-curi pandang ke arah Putri. Tak jarang juga mata kami saling beradu pandang, lalu gue senyum-senyum sendiri. Sampai suatu ketika Gadis itu pun balik senyum ke arah gue.

Setiap kali Putri dan pacarnya datang, gue selalu membuatkan cappuccino dengan latte art bergambar hati, sedangkan es teh lecinya gue bikin biasa aja. Sampai suatu ketika Putri datang sendirian ke kedai kopi.

"Tumben sendirian, pacarnya mana?," Selidik gue sambil memerhatikan ke arah pintu di luar.

"Mati kali mas!," Jawabnya dengan nada agak kesal lalu duduk di kursi depan bar.

"Waduh!, saya mesti seneng apa sedih nih?".

"Ah, si mas bisa aja!".

"Cappuccino kaya biasa yah mbak?," Tembak gue sebelum dia memesan minuman.

Gadis di depan gue tersenyum, lalu mengangguk.

Dengan cekatan gue buat kopi dan memanaskan susu dengan mesin, ketika gue mau menuang susu ke dalam kopinya, Putri mengambil ponselnya.

"Mas, bentar, saya rekam yah!".

Gue cuma senyum, lalu memulai menuang susu ke dalam kopi setelah ada aba-aba mulai darinya, gue coba buat gambar yang beda dari biasanya. Kali ini gue buat gambar bunga.

"Waaah bagus banget, kok kemaren-kemaran cuma gambar hati aja sih mas?," Gadis itu tampak sumringah.

"Kalo saya buat yang kaya gini nanti enggak surprise lagi dong!," Kata gue sambil menaruh cangkir isi cappuccino ke hadapan Putri, "spesial buat kamu nih mbak!".

Ekspresi wajahnya masih senang banget, "Waaah, asiik!. Tapi jangan panggil mbak doong!".

"Terus panggil apa dong?".

"Putri!," Kemudian ia mengulurkan lengannya mengajak gue salaman.

"Jangan panggil saya mas juga yah, namaku Tomi!," Gue menyambut lengannya untuk bersalaman.

Seketika kemudian kami tertawa, seperti ada hal yang lucu tapi entah hal lucu itu apa.

"Oh iya, cappuccinonya khusus hari ini gratis buat kamu, dengan satu syarat!".

"Apa syaratnya?," Selidik Putri dengan wajah penasaran.

"Syaratnya ditukar dengan nomer hp kamu!".

"Syarat yang aneh sih, biasanya kalo gratisan itu kan kalo posting foto di instagram!," Putri menghirup kopinya, "Oke, kalo gitu cappuccinonya dua dong!".

"Siap!," Gue memberikan isyarat dengan menempelkan jempol dan telunjuk membentuk huruf "O" pertanda setuju.

Perkenalan hari itu di kedai kopi, membuka jalan gue dengan Putri ke jenjang selanjutnya hingga hari ini.

(Bersambung)

AKAD (Full)Where stories live. Discover now