Bidadari Bermata Bulat (bagian 2)

1.8K 49 0
                                    

Hari ini gue di Bandung, baru aja sampe di stasiun. Sebenernya gue kemari bukan buat jalan-jalan, tapi Vika yang menyuruh gue. Dia lagi ada acara gathering sama komunitas di kota ini.

Sebenernya gue dikasih tau tempat Vika menginap, tapi gue memutuskan buat jalan-jalan dulu menikmati Sabtu sore yang indah di kota bandung.

Sepanjang perjalanan dari stasiun gambir sampe kemari, gue lumayan bete, karena enggak ada teman yang bisa diajak diskusi. Sebenernya bisa aja sih gue ngobrol sendirian, tapi enggak enak sama ibu-ibu yang ada di depan kursi gue. Takutnya gue dibilang sombong, karena ngobrol sendirian dan enggak ngajak-ngajak si ibu.

Karena gue enggak tau banyak jalan di kota ini, akhirnya gue memilih buat ke jalan Braga. Sebuah tempat bersejarah yang dulu menjadi tempat berkumpul orang-orang kaya di Bandung.

Jalanan di sini bergaya klasik, dengan banyak toko yang masih bergaya neo-klasik. Ini yang bikin gue betah buat mengabadikannya dengan kamera DSLR gue.

Sehabis gue puas di Braga, gue jalan lagi ke B.I.P. Sengaja gue memilih jalan kaki, karena emang banyak pemandangan yang bisa gue foto kalau gue jalan kaki. Lagipula kalau naik angkot pasti bakalan mengambil jalan putar yang jauh.

Tanpa gue sangka, di tujuan gue berikutnya gue bertemu dengan kisah cinta gue yang belum selesai.

Ya, Alysha atau Icha. Gue ketemu dia ketika gue lagi di eskalator naik, dan dia turun.

Awalnya gue enggak percaya kalau itu Icha, tapi setelah gue perhatiin, dia benar-benar bidadari bermata bulat gue yang dulu hilang. Cuma bedanya rambut pendeknya kini sudah panjang dan diikat ekor kuda. Ditambah lagi sekarang makin cantik.

"Icha!," Kata gue ketika gue berhasil mengejarnya dan sekarang posisi gue ada di belakangnya.

Perempuan di depan gue menghentikan langkahnya, kemudian ia menoleh ke arah gue. Ada raut wajah kaget dan enggak percaya pada apa yang dilihatnya.

"To-Tomi!", Icha seolah enggak percaya pada apa yang dilihatnya, sedetik kemudian kami saling berpelukan. Mirip banget kaya adegan-adegan sepasang kekasih yang baru bertemu setelah sekian lama terpisah. Lah, kan gue sama Icha emang udah lama enggak ketemu.

"Ka-kamu ngapain di sini Tom?"

Mendengar pertanyaan Icha gue tersenyum, "Jadi yang pertama ditanya ngapain aku di sini nih?, enggak nanya kabar aku?".

Wajah Icha merah merona, gue jadi inget waktu duduk di bangku lorong sekolah sore-sore pas hujan waktu itu. Persis, rona merah wajahnya belum berubah.

Sore itu Bandung gerimis, dan gue yakin Vika pun masih belum selesai dengan acara gatheringnya. Icha mengajak gue untuk duduk di sebuah kafe yang ada di dekat pintu utama.

Seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran, Icha begitu antusias mendengar cerita yang gue alami selama ini semenjak kepergiannya.

Icha menggenggam tangan gue erat. Ada rindu yang tersirat dari genggaman tangannya, namun genggamannya yang erat gue rasakan semakin melemah.

"Tom, maaf yah waktu itu aku pergi enggak pamit sama kamu," Icha mulai meneteskan air matanya, "aku ga mau bikin kamu khawatir!".

"Udahlah Cha, yang penting kan kita bisa ketemu lagi," Gue mencoba menghibur hatinya, "aku rindu kamu Cha!".

Gadis itu mengambil tangan gue, lalu menariknya ke pipi lembutnya kemudian ia mencium tangan gue.

"Aku juga rindu kamu Tom!".

Kami saling terdiam hingga tanpa disadari seorang waitress membawakan pesanan kami.

"Ta-tapi kita enggak bisa kaya dulu lagi Tom," Ujar Icha memecah keheningan di antara kita, "tiga bulan lagi aku menikah!".

Sumpah, kata-kata Icha bagaikan petir di siang bolong. Gue kaget bukan main, bertahun-tahun hubungan gue dan Icha bisa dibilang belom selesai tapi harus berakhir dengan kata-kata, "Tiga bulan lagi aku menikah!".

"Tom, kamu gapapa?," Icha membuyarkan lamunan gue.

"Eh, gapapa kok Cha. Eh iya, selamat yah, mudah-mudahan resepsinya lancar!".

Icha hanya tersenyum, tangan gue masih digenggamnya erat. 

Sepanjang sore Icha cerita, kalau ada seorang pengusaha muda yang melamarnya beberapa bulan lalu. Ibunya sekarang sakit-sakitan, sedangkan dia sendiri harus membiayai pengobatan ibunya dan ikut membantu membiayai sekolah adiknya. Hingga akhirnya ia mau menerima pinangan pengusaha muda itu.

Namun pilihan Icha tidak salah, karena pengusaha muda yang dinikahinya kemudian menjadi salah seorang pengusaha sukses di Bandung.

Sebelum berpisah, Icha meminta gue buat datang di acara nikahnya nanti. Kita saling bertukar nomer telepon, agar masih bisa saling komunikasi.

"Kau masih bidadari bermata bulatku, Cha!".

Sekali lagi Icha mengecup tangan gue, "Aku masih sayang kamu Tom!".

Setelah Icha pergi, gue langsung naik ojek buat nganterin gue ke penginapannya Vika, gerimis menyelimuti kota Bandung, gue semakin kedinginan.

Waktu sampai di kamar, Vika baru selesai mandi. Gue disambut dengan pelukan hangat dan ciuman di bibir.

"Kamu dari mana aja, baru sampe jam segini?," Kata Vika sambil merapikan rambut gue yang acak-acakan.

"Mampir BIP dulu tadi, nyari makan sama sekalian jalan-jalan!".

"Curang, aku ga diajak!".

Gue enggak berani ngebayangin kalau tadi Vika ikut dan gue ketemu sama Icha dengan kondisi seperti tadi. Bisa timbul perang dunia ketiga nanti.

"Kamu kan tadi acara, makanya aku jalan sendirian!".

"Hehehe, iya yah. Kamu mandi dulu sana, badan kamu basah keujanan gitu. Aku ngantuk mau bobo!".

Gue beranjak ke kamar mandi, selesai mandi gue langsung menyusul Vika dan tidur di sampingnya sambil memeluknya dari belakang. Keningnya gue cium, baru kali ini gue melihat Vika tidur.

Ah, biarlah malam ini kami terlelap dalam pelukan. Vika yang letih karena acara yang melelahkan semenjak kemarin, dan gue yang sedang kaget karena menemukan bidadari bermata bulat milik gue yang sebentar lagi menjadi milik orang lain.

"Selamat tidur Vik, Aku sayang kamu!".

(bersambung)

AKAD (Full)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum