(04) Masa Lalu

898 80 13
                                    


"Cepat bawa sepedaku! Dan pergi dari sini!" teriak laki-laki yang menolongku. Sebenarnya aku tak tega meninggalkannya sendiri melawan para penjahat itu. Tapi, jika aku berada di sana, aku hanya akan memberinya tambahan beban.

Sepanjang jalan kukayuh sepedanya seraya kuucapkan, "Terimakasih, maaf, terimakasih, maaf, terimakasih, maaf."

Berterimakasih atas tindakan heroiknya, bahkan tanpa ragu meminjamkan sepedanya. Meminta maaf karena aku hanya bisa melarikan diri meninggalkannya sendirian.

Hingga tak terasa aku sampai di jalan yang lebih ramai dan akhirnya tiba di rumah. Aku tak tahu harus bagaimana, kepanikan telah menyelimuti semua sel dalam tubuhku. Aku hanya berpikir untuk melarikan diri dan terus mengayuh sepeda hingga sampai rumah. Bodohnya aku, bukannya meminta bantuan atau memanggil polisi, aku malah mengambil selimut dan berusaha memejamkan mataku di atas kasur.

"Fia! Fiala, bangun! Udah pagi!" seru ibuku menyingkap selimut dari wajah.

Kubuka mata di pagi hari dengan tangisan. Baru kali ini aku mengalami tindak kekerasan seperti itu. Bahkan untuk bercerita kepada ibu pun aku tak sanggup, karena saking syoknya.

Awalnya, semalam aku hanya memesan ojek online ke supermarket, bermaksud membeli perlengkapan untuk tugas-tugasku. Akan tetapi aku malah dibawa ke jalan yang sepi dan gelap, kiri-kanan hanyalah hamparan sawah. Berkali-kali kumengatakan ini salah arah, tapi tukang ojek itu diam saja. Ketika aku meminta diturunkan, tukang ojek itu malah menyuruhku diam saja, dan mengatakan bahwa ini jalan pintas. Perasaanku benar-benar tidak enak.

Benar saja, di depan sana ternyata ada satu pria mencurigakan sedang menunggu. Ketika laju motornya melambat, aku langsung melompat dari motor hingga terguling. Aku mendapatkan lecet di siku dan kaki setelah berguling dua kali di aspal jalan, tetapi itu tak kurasa, karena prioritasku saat itu adalah kabur dan berlari sekencang yang kubisa.

Namun apa daya, hanya 10 meter saja kuberlari, para penjahat itu sudah menangkap dan menarikku. Aku hanya bisa berteriak meminta tolong sekeras-kerasnya. Beruntunglah ada lelaki yang entah bagaimana bisa kebetulan berada di sana dan menolongku, layaknya superhero yang kedatangannya tidak terduga.

Ah, berpikir apa aku ini? Bukannya malu dan penuh rasa bersalah, malah memikirkan yang aneh-aneh. Lalu sekarang ... bagaimana aku tahu kondisi lelaki itu dan bagaimana cara mengembalikan sepedanya? Bagaimana aku bisa menemui seseorang yang belum sempat kulihat mukanya? Situasi kemarin malam sangat gelap, hingga tak sempat kulihat wajahnya.

Hal yang pertama kulakukan di hari libur ini adalah mandi, makan, dan menuju ke lokasi kejadian dengan sepeda my hero-ku ini.

"Fia? Fia, Fia tunggu!" seru Yuzarsif teman sekelasku yang berbadan tinggi, dengan rambut ikal pendek menghiasi kepalanya.

Ia berhasil menghentikan kayuhanku ketika melewatinya di jalan kecil ini. Terlihat dari setelan yang ia kenakan, ia sedang lari pagi. Jika terang, jalan ini tidak menyeramkan sama sekali, bahkan terlihat nyaman dengan hamparan hijaunya pesawahan yang memanjakan mata, masuk akal juga Yuzarsif lari pagi di jalan ini. Tapi, kok dia ada di sini?

"Mau ke mana?!? ... Mar mana?" tanya Yuzarsif.

Aku tidak menghiraukan pertanyaan pertamanya, karena sangat terkejut mendengar pertanyaan setelahnya yang menanyakan, "Mar?!? Mar apa? Maksudku ... kenapa nanya Mar?!?"

"Lah, kamu lagi pake sepedanya Mar. Ngelawak nih kamu!"

"What?!? Apa? Sepedanya Mar?!? Mar si tukang minta kiamat itu? Si so' misterius, si so' pinter itu? Tapi, ya emang pinter sih. Tapi, gara-gara dia dan si culun Rukma aku selalu nomor tiga di kelas."

ORKANOIS (END)Where stories live. Discover now