(19) Terjun - [[akhir bab Maraby]]

345 38 21
                                    

Dentuman tembakan yang mengarah ke kepala Mar, membuat burung-burung di sekitaran pantai berterbangan. Namun, peluru itu hanya sedikit menggores kulit luarnya saja. Ia melempar pistol yang sudah kehabisan peluru ke laut –pistol yang didapatkannya dari polisi di penyerangan rumah bupati.

"Pistol nggak guna!"

Batu, pisau bahkan peluru tidak bisa melukai tubuhnya. Ia juga sudah meminum racun tikus, tetapi tidak memberikan efek sama sekali. Membakar dirinya dimulai dari kaki pun, apinya hanya membakar ujung celananya saja. Saat ini ia masih bernapas dengan segala kebingungan di kepala dan keputusasaan di hatinya.

"Andai ada Orkanois atau pedang slaz, mungkin semua ini akan cepat selesai," ujarnya sambil merebahkan tubuhnya di pantai pulau kecil tak berpenghuni.

Cukup lama berbaring, akhirnya ia bangkit kembali dan berpikir untuk menenggelamkan dirinya. Ia membentangkan sayap dan mulai terbang melaju di atas hamparan air biru yang tenang, hingga terbangnya terhenti setelah merasa sudah berada di atas laut yang dalam.

Memejamkan mata, kemudian menjatuhkan diri ke laut.

Byurr!

5 meter, 10 meter, 70 meter dan 100 meter ia tenggelamkan tubuhnya ditelan oleh lautan. Namun, sayapnya tidak ingin ia tenggelam. Tubuhnya ditarik kembali ke permukaan dengan kecepatan tinggi, hingga ia melayang di atas laut dengan badan yang basah kuyup.

"Haha, nggak jadi mati .... Anjing! Goblok! Nih sayap bangsat!" ujarnya super kesal.

Di tengah kekesalannya, ia mengingat sesuatu. Penyebab ia bisa berdarah waktu di hutan, mungkin saja karena penggunaan kekuatan teeporth tanpa pedang slaz yang butuh banyak energi dalam diri, hingga berakibat antibodinya turun dan ia bisa terluka.

Lalu ide gila muncul di kepalanya. Ia mulai mencari bebatuan besar dan tajam lalu ditumpuk di tepi pantai, bahkan ada yang seukuran gajah. Tempat yang pasti membuat orang terbunuh seketika jika jatuh dari langit ke atas bebatuan ini.

Menatap langit biru yang indah beberapa saat, lalu ia membentangkan sayap putihnya.

"Mungkin si bayangan lagi tidur," ucapnya kala melihat seluruh sayapnya berwarna putih.

Kemudian, terbanglah ia dengan kecepatan tinggi menembus awan hingga terciptalah garis vertikal tajam di langit biru. Terbangnya melesat dengan sangat cepat, tinggi dan terus melesat ke atas tak terhenti, bak roket yang ingin segera berpisah dengan daratan. Hingga lesatan terbangnya terhenti di atmosfer.

Kini posisi tangan mencekik lehernya dengan kuat di ruang hampa tanpa udara. Walau tanpa oksigen yang bisa ia hirup, ia masih tetap hidup.

"Kenapa? Jelas di sini tidak ada oksigen," ucap Mar dalam hatinya.

Setelah lelah meremas lehernya, Mar menanggalkan sayapnya dan menjatuhkan dirinya begitu saja dari atmosfer sana. Laksana asteroid yang rindu ingin mencium Bumi, ia relakan tubuhnya ditarik oleh gravitasi, membiarkan jasadnya hancur tanpa sisa.

<><><>

Di suatu malam, Mar kecil yang merasa lapar, memakan makanan yang tersisa sedikit lagi di dapurnya. Ketika hendak tidur, ia merasa harus pergi ke toilet dan tak sengaja melihat ibu mengambil garam lalu menaburkannya ke atas nasi sisa yang hanya tinggal tiga suap saja itu. Ibu membiarkan Mar menghabiskan makanannya, padahal beliau belum makan seharian.

"Mara janji, Mara nggak akan makan apa-apa sebelum Ibu juga makan," ucap Mar kecil sambil memeluk sang ibu.

"Nggak boleh gitu! Ini Ibu cuma makan nasi sisa. Kalau nggak habis, nanti nasinya nangis!"

Makin ia peluk erat ibunya setelah mendengar jawaban itu.

Suatu hari, saat acara kenaikan kelas Mara menuju kelas 3 SD, ibu memberi Mar sesuatu. "Mara, ini boneka harimau kesukaanmu," ucap ibu sambil memberikan hadiah kala Mar mendapatkan ranking satu seperti biasanya.

"Boneka harimau punya Mara udah penuh di lemari, Bu," balasnya.

"Hmm, nggak suka?"

"Suka, suka! Cuma, Mara nggak tahu nyimpennya di mana."

"Kan bisa disimpen di atas tempat tidur," ujarnya dengan senyuman.

Ada temannya meledek. "Dih! Anak cowok masa suka boneka?"

"Heh! Ini boneka buatan ibuku tahu! Kamu udah ngehina ibuku. Awas aja nanti!"

Di kala hujan deras mengguyur dan suara petir di langit menggelegar, ibu menerpa hujan untuk menjemput Mar ke sekolah yang berjarak 3 km dari pabrik boneka tempat ia bekerja. Satu payung besarnya tertiup angin dan terlindas truk di jalan hingga rusak. Tersisa satu payung kecil ketika tiba di sekolah. Ibu menyuruh Mar memakai payungnya dan membiarkan dirinya bermandikan air hujan.

Mar tidak tega jika harus ibunya kehujanan, ia berinisiatif ke warung dan meminta keresek untuk membungkus buku-bukunya. Lalu ia menutup payung itu dan menikmati derasnya hujan bersama ibunya, hingga pulang dalam keadaan basah kuyup.

Walau ibu tahu betul bahwa Mar berbeda, tetapi beliau tetap memperlakukan anaknya seperti anak pada umumnya. Walau sering membuat masalah dan terus memperlihatkan kekuatan mengerikan, ibu selalu mendekapnya ketika Mar beranjak ke tempat tidur, untuk menunjukan kasih sayangnya.

Tak sengaja pada malam hari, Mar mendengar pembicaraan dari ayah, "Mah, suara itu bilang kalau suatu saat nanti Mar bakal sepenuhnya jadi monster."

"Nggak peduli, Mar tetep anak yang aku lahirkan yang dengan bangga aku besarkan," tanggap ibu.

Mar sering dijauhi, karena berbeda dan mengerikan bagi teman sebayanya, membuat ia tidak percaya lagi terhadap manusia. Pengecualian untuk orang tuanya, terutama ibu.

<><><>

Wajah yang jarang memberikan ekspresi itu, kini meneteskan air mata ketika ingatan-ingatan masa lalu menghujani pikirannya, dan ekspresi yang penuh harap terukir di wajah.

"Semoga dengan begini, Ibu bisa selamat."

Namun, tanpa Mar sadari, 100 meter sebelum mendarat di bebatuan, sayapnya keluar dengan warna hitam di setiap jengkalnya.

ORKANOIS (END)Where stories live. Discover now