(13) Galang

244 30 1
                                    

Beberapa hari sebelumnya.

Pertama, Harta terbesar, tapi selalu ia tinggalkan? Dia menggunakan kata 'terbesar'. Jadi tidak mungkin jawabannya 'keluarga', karena keluarga adalah harta yang paling 'berharga'. Jadi, harta terbesar yang ia maksud adalah harta yang berwujud dan berukuran besar. Uang? Bukan. Emas? Bukan. Mobil? Orang pasti membawa mobilnya. Harta terbesar..., harta terbesar.

"Ah! Tentu saja. Manusia selalu meninggalkan rumahnya, padahal rumah adalah harta terbesarnya," ujar Pak Tura menyelesaikan teka-teki pertama.

Kedua, tempat apa yang tidak bisa dibayangkan oleh manusia? Teka-tekinya pasti berhubungan dengan nama tempat. Laut? Udara? Luar angkasa? Tidak, semua itu bisa, bahkan sudah bisa dijangkau oleh manusia. Mungkin tempat yang bahkan manusia jenius pun tidak bisa membayangkannya.

"Alam kubur? Rumah alam kubur?"

Tidak, kurang cocok. Tapi, pasti masih belum jauh seputar alam ghaib. Jawabannya pasti di antara surga atau neraka.

Ia berhasil menjawab. Namun setelah itu, sejenak ia terdiam. Kemudian ekspresi sedih tergurat di wajahnya. "Lagi ... lagi dan lagi. Aku mengabaikan hal penting," keluhnya.

Setelah Pak Tura menyelesaikan teka-teki di email yang ia terima, ia langsung pergi menggunakan mobil Jeep ke rumahnya dulu yang berlokasi di perumahan elit Rumah Syurga.

"Sudah berapa lama. Dua ... tiga? Mungkin empat bulan aku tidak ke sini."

Cukup lama mondar mandir di depan pintu menyiratkan sikap ragu, akhirnya Pak Tura mengetuk rumah itu. "Gaza! Gaza ini Bapak. Tolong buka pintunya!"

Tak terdengar balasan apa pun, setelah ia mengetuk beberapa kali pintunya dan setelah memencet bel rumah berkali-kali.

Hingga ...

"Galang! Gaza Erlang! Tolong buka pintunya, ini bapak!"

Galang, alias Gaza yang bertubuh tinggi, berambut hitam dengan cukuran cepak rapi, mengenakan jaket hitam, tiba-tiba langsung membuka pintunya dan pergi melewati ayahnya begitu saja dengan terburu-buru.

"Gaza! Keterlaluan kamu!" bentak detektif itu mengangkat tangannya.

Gaza menghentikan langkahnya dan berkata dengan balas membentak, "Keterlaluan? Bapak bilang keterlaluan?!? Keterlaluan mana antara seorang ayah yang mengabaikan keluarganya hancur karena perceraian, bahkan berbulan-bulan nggak pernah nengok anaknya lagi, dengan anak yang tiba-tiba nyelonong karena panik ngedenger temennya lagi sekarat? Hahh? Keterlaluan mana?!?"

Pak Tura hanya diam dan menurunkan tangannya perlahan.

"Urusan kita nanti aja. Gaza, mau ke rumah temen dulu!"

Sang ayah mengejar Gaza. "Izinkan bapak anter. Apalagi ngedenger ada temen kamu lagi sekarat. Ayo, cepet naik! Pake mobil bakalan lebih cepet!"

Gaza mengangguk. "Temen Gaza ada di Apartemen Yulan."

Setelah berkendara hampir 1 km, mereka hanya diam tanpa ada satu pun obrolan. Hingga pria berjas hitam itu bertanya memecah keheningan, "Sasa, adikmu apa kabar?"

"Kabar buruk, dua hari nggak pulang," jawab Gaza sinis.

"Ke mana?!?"

"Mana aku tahu. Tanya aja sendiri! Oh aku tahu, Bapak nggak bisa nanya sendiri, karena saking nggak pedulinya, nomor hp anaknya sendiri aja nggak tahu."

"Huft, Gaza! Bukannya Bapak nggak peduli. Hanya saja, banyak kerjaan yang harus bapak selesaikan, jadi nggak ada waktu sama sekali. Tapi 'kan, bapak selalu transfer sebulan sekali. Itu 'kan bentuk kepedul–"

ORKANOIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang