(08) Karena

530 58 6
                                    


Minggu pagi saat Matahari menyambut orang-orang yang sedang berolahraga di sepanjang jalan, atau hanya sekadar duduk berjemur di taman, melepas pegal setelah hari-hari kerja, ibu Mar hanya membereskan seisi rumah dengan tetesan air mata.

"Permisi! Permisi! ... Mar! ... permisi, Bu!" seru Yuzarsif dari luar rumah.

Ibu refleks menghapus air matanya dan membukakan pintu untuk Yuzarsif.

"Eh, Yuzar. Masuk, masuk! Maaf, masih berantakan. Ini lagi bongkar-bongkar perabot rumah, di bawah-bawah sini banyak debu soalnya," ujar beliau berbasa-basi.

Setelah Yuzarsif duduk, ibu Mar menyuguhkan segelas air putih untuknya.

"Hmm, Mar-nya ada, Bu?" tanya Yuzar.

Ibu terdiam menunduk dan hanya menampilkan sedikit senyuman. Setelah itu, beliau menengedahkan kepalanya dan bertanya, "Apa Yuzar tahu, kalau Mara ... nggak kayak manusia pada umumnya?"

Yuzar tidak langsung menjawab, tapi kepalanya mengangguk mengiyahkan pertanyaannya. Ia kebingungan mengapa beliau bertanya seperti itu.

"Bu Lisa, tetangga ibu nyaranin lapor polisi aja setelah ngelihat ibu panik kemarin. Ibu sadar kalau reaksi itu berlebihan, padahal Mara belum tentu hilang dan belum sampai 24 jam. Ibu ... ibu hanya takut ... kalau Mara, anak ibu ... ninggalin ibu ...," jelas beliau.

Yuzar meletakan tangannya di dada dan membalas dengan tegas, "Menurut saya, Mar sama sekali bukan orang yang kayak gitu. Dia sangat mencintai dan menyayangi Ibu. Tapi, Ibu pasti punya alasan kenapa bisa ngomong seperti itu. Bisa tolong jelaskan, Bu. Kalau nggak keberatan."

Beliau mulai menjelaskan, "semua berawal ketika ibu, ayahnya Mara, dan Mara yang masih berumur 5 tahun, pulang kemaleman dari kebun binatang."

<><><>

"Tuh 'kan, Yah, jadinya kemaleman gini. Coba pulang dari kebun binatangnya jam 3 sore. Udah tahu kalau naik bus suka kejebak macet," protesku ke ayah yang sedang menggendong Mara tertidur lelap.

"Ya, Ayah juga maunya pulang jam 3. Tapi 'kan si Mara-nya masih betah, Sayang," balas suamiku.

Pada saat itu, kami pulang jam 5 dari kebun binatang, dan itu adalah jam tutupnya. Karena Mara terlihat begitu asik melihat berbagai macam hewan di sana, terutama melihat harimau dan singa. Padahal rencananya kami pulang jam 3 sore. Akhirnya kami pun terjebak macet hingga pukul 9 malam. Mungkin karena berakhirnya weekend, semua kendaraan berebut pulang sore itu.

"Tuh 'kan, ojek jam segini udah nggak ada," ucapku.

"Hmm, masih kuat jalan nggak? Atau kamu mau digendong kayak si Mara?" tanyanya menggodaku.

"Nggak, aku masih kuat kok. Kamu juga kalau capek ngegendong Mara, gantian aja. Tapi, ini 'kan dah malem banget, nggak ada penerangan lampu jalan lagi. Nggak takut emangnya?" balasku.

"Pch! Gini doang, nggak ada yang bikin aku takut, selain ngambeknya kamu ah, hehe. Sambil ngobrol di jalan juga nggak kerasa, tiba-tiba udah sampe rumah aja. Dah ayo! Nanti keburu larut malem."

"Tapi ...."

"Tenang, nggak akan ada apa-apa. Ada aku ini kok," jawab suamiku meyakinkan untuk berjalan kaki.

Aku rasa semuanya baik-baik saja, justru malam itu entah mengapa terasa hangat. Aku mendekap tangan kanan suamiku, sedangkan tangan kirinya menggendong Mara yang masih balita dengan gagahnya. Posisiku kala itu membuatku senyum-senyum sendiri dan tidak menghiraukan gelapnya malam, walau sebenarnya malam itu tidak terlalu gelap, karena bulan dan bintang turut menerangi langkah kami.

ORKANOIS (END)Where stories live. Discover now