(Bonus Cerita - 01) Lubang Kehidupan

82 10 4
                                    

"Mara, jadi ikut Ayah ke pasar nggak?" ajak Ayah mengenakan jaket kulit cokelat dan celana hitam, tampilan yang cocok untuk orang bertubuh tinggi dengan rambut tipis satu centimeter. Ia menunggu puteranya seraya menyalakan motor matic.

"Bentar, Dede katanya mau ikut," balas Mar kecil berumur sebelas tahun sedang menahan adik perempuannya, Tesya yang berumur enam tahun kala itu menarik-narik jaket biru Mar.

"De, diem di rumah dulu yah? Soalnya kalau ikut, nanti motornya penuh sama barang belanjaan," bujuk Mar kepada adiknya yang termenung seraya menarik ujung rok merah yang ia kenakan.

"Umm ... tapi nanti Aa beliin Dede jus jeluk yah?" tawar Tesya.

"Iya." Mar melihat ke arah Ibu yang sedang memasak di dapur, "Tuh temenin Ibu! Atau nggak main sama kucing." Menunjuk ke arah kucing hitam berumur satu tahun sedang tertidur manja di sofa. "Tadi kucingnya udah dikasih makan belum?"

"Udah, A. Hihii." Tesya mengacungkan telunjuk kecilnya, "Awas ya jangan bohong!"

"Ih, kapan coba Aa bohong?"

"Pelnah, waktu mau ngajak Sya ke sekolah Aa, nggak jadi telus," balas Tesya.

"Hehe, masa?"

"Iiih!" Serangan dari si kecil Tesya telah memojokkan Mar.

"Ahhhaha, geli Dek! Iya, ya ... entar Aa beliin jus jeruk. Tapi, kalau Ibu marah dede pilek ... Aa nggak tanggung jawab loh yah."

Setelah Mar memakai helm, ia menaiki motor sambil memegangi jaket ayahnya dari belakang. Di tangan kirinya terdapat plastik besar untuk wadah belanjaan nanti. Perjalanan yang seharusnya tidak terlalu jauh, malah terasa lama, karena melewati jalan rusak penuh lubang bak kolam ikan setelah diguyur hujan semalam. Berulang kali motor belok kanan-kiri menghindari genangan air, walau usaha itu kadang sia-sia ketika ada motor dari arah berlawanan melaju sangat cepat, membuat cipratan airnya mengenai motor mereka.

"Ayah, kenapa sih jalannya nggak pernah dibenerin? Di sini emang kampung, tapi kan nggak jauh dari sini ada perkotaan yang jalannya bagus," tanya Mar.

"Seharusnya jalan yang kita lewati itu mulus. Nggak usah repot-repot lewat jalan rusak kayak gini, Mar. Biasa, dananya dikorupsi mungkin sama orang-orang serakah," jawab Ayah.

"Dikorupsi itu apa?"

"Oh ya, Ayah lupa kamu itu masih kelas lima SD." Ayah menekan rem demi menghindari benturan dengan polisi tidur. Ayah melanjutkan, "Jadi gini korupsi itu, waktu Ibu nitip uang buat beli buku pelajaran di sekolah, eh malah Mar ambil uangnya buat jajan gitu, beli tamiya. Nah, itu yang namanya korupsi. Uangnya nggak jadi beli buku malah dipake buat sendiri," jelas ayah.

"Ih Mar nggak gitu kok, tetep Mar kasih ke bu Nia uangnya. Kalau gitu, sama aja kayak nyuri yah? Terus, uang yang seharusnya buat benerin jalan, malah dicuri? Tapi kok, yang pencurinya nggak ditangkep polisi?"

"Hehe, sering-sering baca berita, Mara. Entar ngerti sendiri. Jangan kebanyakan nonton kartun," sindir ayah.

"Ah, Mara nggak suka lihat berita. Isinya jelek semua. Bunuh-bunuhanlah, kecelakaan, penyiksaan yang kayak gitu ... Mara nggak suka."

"Baguslah," tanggap Ayah dengan wajah datar. Tanggapan Mar tadi begitu kontradiktif dengan apa yang Mar pernah lakukan, terutama ketika ia menggunakan kekuatan misterius itu untuk menyiksa habis-habisan para pembuli kecil di sekolah. Seolah dalam dirinya ada dua kepribadian.

"Mar, buat latihan nanti malem ... kita latihan di tengan sawah," ujar Ayah.

"Haa? Kenapa harus di tengah sawah? Nggak bisa di GOR tempat Ayah kerja aja? Kayak biasanya," tanya heran Mar.

ORKANOIS (END)Where stories live. Discover now