(09) Kiamat

266 27 34
                                    

Sekelebat bayangan tersirat dalam ingatan, ketika tangan mencengkram erat leher dari seorang wanita yang terbaring di kasur rumah sakit dengan tatapan sendu, melihat puteranya sendiri melakukan hal itu padanya, hingga membuatnya kesulitan bernafas dan berucap.

"Ma-Mar ... Mara ...."

Mata yang awalnya nampak dingin, seketika membuka dan menyadari apa yang telah ia perbuat, namun semuanya sudah terlambat. "I-ibu ... Ibu ... apa yang ... ibu ... haaa ... tidak," ujarnya penuh kesedihan sambil menatapi tangan yang ia kutuk perbuatannya.

"Kenapa Mas ngasih nama anak kita 'Maraby'?" tanya Ibu menggendong Mar bayi.

"Bagaikan hitam dan putih, simbol keseimbangan. 'Yin dan Yang' tahu 'kan? 'Maraby', dari merah dan biru. Merah melambangkan semangat yang membara layaknya api, dan biru melambangkan ketenangan, seperti langit cerah ini," jawab Ayah.

"Puft, harusnya 'Merabi' dong. Mas ini ada-ada aja ngasih nama anak itu," ledek ibu.

"Gak papa dong, biar unik sekalian."

"Ibu ... arggghhh ...!" Ia berteriak dengan teriakan yang menusuk telinga, dan merintih dengan rintihan yang mengusik hati siapa pun yang mendengarnya.

Tak tahan dengan kesedihan yang menyelimuti seisi ruangan, ia melesat terbang dan menerobos atap rumah sakit, lalu berteriak sekencang-kencangnya, "AAAARRGGGHHH ...!"

Tidak ada yang pernah berpikir, bahwa suara teriakan itu adalah akhir dari manusia.

<><><>

Setelah dibangunkan oleh Orkanois, perlahan Mar membuka kedua matanya. Ia pandangi tangannya dan melihat keadaan sekitar dengan penglihatan yang masih remang-remang. Sontak ia merasa sangat terkejut dan kebingungan. "Hah! Apa? Apa yang terjadi?"

Ia melihat banyak bangunan, rumah, dan gedung-gedung terbakar. Di jalan terdapat ribuan kendaraan yang rusak akibat tabrakan, berserakan begitu saja. Terlihat tihang listrik dengan kabel terputus, dikelilingi percikan listrik bertegangan tinggi, dan yang menambah keanehan situasi di bawah, yakni banyaknya puing-puing pesawat jatuh terbakar hebat di sepanjang kota. Seolah bumi telah ditinggalkan oleh manusia seketika.

Sudah beberapa jam ia terbang dengan sayap putih untuk melihat sekelilingnya, berharap menemukan seseorang. Namun, yang ia dapatkan hanyalah pemandangan yang tidak masuk akal dan sangat mengerikan tersaji di hadapannya, mayat manusia mati bergelimpangan dalam kedadaan memegangi kepalanya.

Ia sama sekali tidak menemukan seorang pun yang masih hidup, sejauh apa pun perjalanannya, tetap yang ia dapatkan hanyalah jasad manusia tergeletak di mana-mana. Bahkan yang membuatnya sangat syok, ia menemukan Yuzarsif, Fia, Fraza, teman sekelas, dan bahkan ibunya dalam keadaan tak bernyawa. Ia sendiri kesulitan untuk memilih ekspresi apa yang harus ia tunjukan atas semua ini.

Hingga akhirnya, ia pergi dan berdiam di atas menara alun-alun kota yang hancur. "Kenapa? Kenapa jadi kayak gini? Apa yang terjadi?!? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa?!?" tanya Mar menggila.

Jauh di depan sana, terlihat Orkanois terbang menghampirinya. "Hei, Orka! Kenapa cuma ada mayat berserakan di bawah?" tanya Mar dengan tatapan kosong menatap ke bawah.

"Mar ... maafkan, maafkan aku telat mencegahmu," jawab Orkanois sesal.

"Kau yang melakukannya 'kan?"­

"Bukan! Ini semua ... arggh! Semua ras manusia mati akibat ... ini semua ulahmu–"

"Kau pembohong! Mana mungkin ... Orka ... mana mungkin ... aku membunuh ibuku sendiri. Haaaa! Haaaaaa ...!" sanggah Mar dengan tangis yang menjadi-jadi. Tangisan yang mengalahkan jerit anak kecil meminta mainan, tangisan tragis dengan butiran air mata yang berusaha memadamkan bara api melahap bangunan di bawahnya.

ORKANOIS (END)Where stories live. Discover now