04 - 3 : PESONA HURUF U

155 18 2
                                    

Seul tidak bisa berhenti bergerak. Jari-jarinya (kaki dan tangan) terus menggeliat di balik baju taekwondonya yang longgar. Dia berdiri ragu beberapa meter di depan pintu ruang ganti gedung olahraga. Dia sedang memikirkan suatu cara.

Seusai latihan, semua orang telah meninggalkan gedung olahraga ini. Sekarang di sini hanya tinggal dirinya dan Park Na Wi. Seul jadi gelisah. Bagaimana ya agar Park Na Wi mau berciuman dengan dirinya?

Oh, Seul ingat cerita neneknya tentang keseksian huruf U dalam mie tradisional Jepang yang disebut udon. Bagaimana katanya? UUUDON. UUUDON. Seul memonyong-monyongkan bibirnya, tapi dia tidak merasa itu akan berhasil. Bibirnya terlalu kering. 

Lalu tangannya mengobrak-abrik tempat pensil yang dia gali dari dalam tas yang dia simpan di pinggir lapangan. Dia menemukan lip balm berwarna pink cerah menggiurkan. Uh, Seul langsung mengoleskan lip balm itu tanpa pikir panjang. Dan dia melatih keseksian huruf U tadi sekali lagi.

“Kenapa kau masih di sini?” Na Wi mengagetkan.

Bibir Seul masih menyebut U ketika menoleh refleks pada Na Wi. Seul langsung berdiri, denganpunggung tegak, dagu naik, pandangan ke kiri atas yang kemudian berpindah ke sebelah kanan atas. Seul sedang mempertahankan harga diri. “Aku ... tidak sedang melakukan apa-apa,” katanya, bohong.

“Lalu kenapa kau masih di sini? Aku harus mengunci tempat ini,” Na Wi protes.

Mata Seul masih berada di sebelah atas, sedang berlarian ke kiri dan ke kanan. Ini bukan bagian dari rencana, ini disebut dengan panik membahana. Seul tidak tahu harus apa dan berkata apa.

“Cepat keluar! Kau bahkan belum mengganti bajumu.”

Tiba-tiba saja suatu kembang api meledak riang di kepala Seul. Sunbae memperhatikanku dari kepala hingga ke kaki. Sunbae memperhatikanku!! Seul gembira sendiri.

Na Wi memang sedang melihat Seul dari kepala hingga ke kaki, tapi dia bukan sedang memperhatikan Seul. Kemudian dia melangkah mundur sedikit, mendarat duduk di sebuah kursi, dan  dia menumpangkan kaki kirinya ke atas kaki kanan dan tangannya bersedekap. “Aku akan menungguimu. Sana ganti bajumu!” katanya, dengan tegas.

Menunggu katanya? Dia akan menungguku? Bukankah itu adalah hal paling romantis yang tidak biasa dikatakan oleh seorang pria kepada wanita? Wah, dan aku mendengarnya. Seul berbunga-bunga dan hampir terharu karena hal itu.

“Sana!!!” Na Wi mulai kesal.

Sambil bermantra udon-udon-udon, Seul berlari secepat kilat menuju ruang ganti. Dia berganti baju juga sambil mengucapkan mantra yang sama. Selesai berganti baju, dia mengatakan ‘udon’ sekali lagi, dan merasa mantap. Seul telah membulatkan tekad.

“Sunbae,” panggil Seul, dan tolehan Na Wi membuatnya amat heboh: sekarang ada ratusan kembang api yang meledak di dada Seul. Setelah memfokuskan diri, Seul berkata, “Kita ... makan UUUUdon yuk!”

“Eh?” Na Wi tak begitu jelas mendengar menu makanan yang Seul tawarkan.

“UUUUUUdon. Ayo kita makan UUdon!” Seul mengulang dengan lebih memonyongkan bibirnya.

“Maksudmu, kau mengajakku makan begitu?”

“Hm. UUUdon.” Huruf U yang Seul ucapan seolah bisa menyedot arwah-arwah yang sedang melintas. Dia menyebutnya dengan khidmat, hingga kedua tumitnya terangkat.

“Tapi aku lebih suka samgyetang,” kata Na Wi, polos.

Aku juga lebih suka daging sapi panggang, batin Seul. Seul menyimpulkan, ‘ah, ini tidak akan berhasil,’ dan jadi kesal karenanya.

Saking kesal, Seul balik badan. Dia menyandarkan dahi di tiang yang entah tiang apakah itu. Seul terus membentur-benturkan kepalalanya ke tiang itu sementara bibirnya manyun. Kemudian Seul mengarahkan mata menyipitnya pada Na Wi.

Na Wi tak menanggapi sipitan mata Seul yang tak dia ketahui asal-usulnya itu.

Kursi-kursi mulai cekikikan di atas kepala Seul. Hm? Kursi di atas? Hah? Jadi ini bukan tiang, tapi tumpukan kaki kursi. Seul baru sadar. Tapi dia tak peduli, dia melanjutkan kegiatan tadi karena rasa kesalnya terhadap kegagalan yang telah terbayang belum juga pudar.

“Heh, kau mau terus di sini?” tanya Na Wi.

Aku hanya ingin memalingkan muka darimu, batin Seul.

“Hey, bahaya!!” seru Na Wi, serius. Tumpukan kursi yang berada di atas kepala Seul bergoyang rapuh.

Seul kaget karena seruan Na Wi barusan, dan dia langsung mundur menjauh kira-kira enam meter dari tumpukan kursi itu. Sedangkan Na Wi, karena takut Seul tertimpa tumpukan kursi, malah maju hingga sangat dekat dengan tumpukan kursi itu. Dia masih sempat memiringkan kepala karena heran melihat Seul menjauh secara tiba-tiba saat dirinya telah berdiri di dekat tumpukan kursi yang bergoyang itu. Kursi-kursi itu pun makin gemetaran karena keheranan.

“Sunbae!!” seru Seul.

Na Wi berlari dengan kedua kakinya, susah payah mengayunkan lengannya, dan bergelut dengan keringatnya. Rambutnya mengibas-ngibas, indah kelihatannya. Lalu kursi-kursi menimpa punggungnya secara berurutan dalam slow motion. Secara alami, lengan Na Wi melambai tolong. Tepat di depan mata Seul, Na Wi roboh.

Seul bungkam. Dia tak bisa menggerakan badan, matanya pun tak bisa dia kedipkan. Bahkan penglihatannya memburam. Untuk memperjelas penglihatan, Seul berkedip satu dan dua kali, tapi penglihatannya tetap buram.

Kemudian kursi-kursi berguling karena dorongan tangan Na Wi, BRARARAK. Dan BLAK, lantai gedung kena tampar oleh kedua telapak tangannya. Na Wi bangkit dan berteriak seketika pada Seul, “KAU!!!”

Setelah duduk, Seul hanya duduk. Dia bersila. Seul membiarkan gema teriakan Na Wi melewati daun telinganya, menerobos lorong-lorong dalam telinga, dan menggetarkan gendang di dalamnya. Seul sungguh tidak tahu. YANG BARU SAJA TERJADI ITU APA?!!

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang