06 - 1 : BERPIKIR CEPAT

131 16 0
                                    

“Ajumma, samgyetang satu porsi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Ajumma, samgyetang satu porsi. Di sana ya!” kata Seul, pada seorang wanita paruh baya berambut keriting yang berjaga di meja depan sambil menunjuk meja tempat Na Wi makan dengan lahapnya. Mereka janji bertemu di tempat ini—resto ayam goreng yang menjual samgyetang—sepulang sekolah.

Bibi Keriting melotot-melotot marah, “Samgyetang? INI RESTO AYAM GORENG. Auh ...”

“Eh? Tapi kemarin saya dan teman saya bisa memesan samgyetang di sini.” Seul heran, lalu dia menoleh ke arah Na Wi yang ternyata sedang makan ayam goreng bukannya samgyetang.

“Sejak pagi ADA saja yang memesan samgyetang. Sebenarnya apa yang anak itu lakukan pada resto ayam gorengku ini?!” Bibi Keriting nampak kesal pada seseorang yang dia sebut ‘anak itu’ yang kemungkinan besar adalah pemuda di meja depan yang kemarin melayani Seul dan Na Wi. Oh, rupanya pemuda itu menyalahgunakan wewenang yang dialihkan yang hanya berdurasi sementara oleh Bibi Keriting ini kepada dirinya. Seul mengerti.

“Kalau begitu, saya pesan ayam goreng saja deh satu porsi,” kata Seul, mengalah.

“Baiklah, anak manis. Tunggu sebentar ya?” Bibi Keriting kemudian melengos ke bagian belakang resto dengan centilnya.

Seul menuju Na Wi. Dia mengomentari cara makan Na Wi yang lahap sambil bergerak duduk di kursi seberangnya. Mereka menempati tempat yang sama dengan kemarin: meja kecil dekat jendela. Seul berbasa-basi,“Sunbae, kenapa di tempat Sunbae tidak ada daging seperti ini? Sunbae tinggal di gunung?” tebak Seul, asal.

Sambil terus makan, Na Wi menjawab, “Tadinya, sekarang aku tinggal di apartemen. Tapi bukan karena itu di tempatku tidak ada daging. Gyosunim tidak makan daging.”

Seul mengangguk-angguk tanpa tujuan. Lalu kata ‘gyosunim’ yang diucapkan Na Wi menarik perhatiannya. Seul bertanya tentang siapa dia dan di mana orang tua Na Wi berada. Katanya, orang tuanya sudah lama meninggal dan orang yang dipanggil ‘gyosunim’ itulah yang menyelamatkan hidupnya dari kebuasan.

“Kebuasan? Oh maksudnya ketidakadilan dunia.” Seul menyimpulkan sendiri sambil mengangguk sopan pada bibi resto ayam yang mengantarkan pesanan.

“Yah, bisa juga dikatakan seperti itu,” kata Na Wi.

“Aw!” Jempol Seul tak sengaja menyentuh paku di bawah meja. Restoran ini pasti sudah lama sekali tidak direnovasi. Ah, dia berdarah.

“Berdarah? Sini lihat!” Na Wi merampas tangan Seul, lalu menghisap darah dari jempolnya dengan liar seperti vampir. Eh? Bukankah seharusnya dengan lembut dan penuh perhatian? Ah, entahlah. Pokoknya dia perhatian pada Seul. Seul suka itu.

“Sudah.” Na Wi mengembalikan tangan Seul, dan lanjut makan. 

Cara makannya yang lahap, cara jari-jari panjangnya menggenggam paha ayam, caranya mulut menawannya mengoyak daging dengan liar, caranya mengunyah dan lidahnya membersihkan bibir, caranya menghirup aroma ayam goreng yang renyah ...

“Hey, kau sudah temukan tempatnya?” Na Wi mengacaukan lamunan Seul. “Ayolah kita ke sana sekarang. Aku mulai merasa bibirku ini mengecil. Lihat, sejak tadi aku belum menghabiskan ini.” Na Wi menunjuk samgyetang di mangkuknya yang masih setengah utuh.

Seul INGIN sekali tertawa saat mendengar Na Wi bicara begitu.

“Tunggu aku selesai makan ini dulu,” kata Seul, agak jutek.

“Oh, baiklah, ” kata Na Wi, dan dia pun melanjutkan makan.

Ah, sebenarnya Seul belum menemukan tempat yang tepat. Bagaimana ya? Sambil makan, Seul terus berpikir. Kalau di tempat latihan seperti kemarin ... ah, tidak asik. Sesekali Seul nyengir pada Na Wi. Di taman? Tapi Seul bukan orang yang tidak tahu malu. Jelasnya tempat itu harus tertutup, tapi agak terbuka. Oh, Seul tahu!

“Sunbae, aku lupa sesuatu,” kata Seul, bohong.

“Apa?” tanya Na Wi, dengan mode siap mendengarkan.

“Sebenarnya dalam rangka melumpuhkan kutukan itu, ada ritual yang harus dilaksanakan.” Seul mengatakannya dengan sedih. Seul tidak berharap Na Wi akan percaya padanya lagi, tapi tidak ada salahnya dia mencoba. “Hm, namanya apa ya? Ritual penyelamatan bibir! Iya itu! Ritual penyelamatan bibir. Kita harus melakukannya.” Kalau Na Wi percaya, berarti dia benar-benar bodoh, Seul membuat rumus.

“Bagaimana cara melakukannya?” Na Wi panik.

Dia benar-benar percaya? Seul sungguh tak menyangka.

“Bagaimana?!” Na Wi berkeras.

Sambil nyengir kering, Seul melanjutkan karangan cerita, “Hm ... kita harus pergi ke tempat yang menyenangkan dan bersenang-senang di sana.”

“Di mana itu?” Na Wi serius.

Maka Seul pun mulai kembali serius. Seul katakan padanya, ada suatu tempat yang wajib dikunjungi dan banyak aktivitas harus dilakukan demi melangsungkan ritual penyelamatan bibir. Tanpa protes, Na Wi langsung bangkit berdiri dan ingin segera ke sana.

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO Where stories live. Discover now