13 - 1 : TAK MAU PASRAH

87 10 0
                                    

“Cha Gu Seul adalah anak dari pasangan gumiho-manusia yang pernah kuceritakan padamu sebelumnya. Dia lahir dengan dua energi kehidupan di dalam tubuhnya. Jika kau tahu bagaimana menderitanya ibu anak itu demi melahirkan, kau pasti marah besar. Ibunya hampir mati kesakitan dan ayahnya hampir mati ketakutan. Anak itu dilahirkan dengan penuh perjuangan.

Atas saran yang kuberikan, permata rubah milik anak itu dikeluarkan. Karena terlalu berbahaya dan mungkin bisa mencelakakan, baik dirinya maupun yang lain. Permata rubah itu hanya boleh berada di dalam atau di dekat tubuh anak itu pada saat-saat yang SANGAT dibutuhkan saja, saranku pada pasangan itu. Dan mereka mematuhinya.

Jika kau sempat mengisap darah dari tubuhnya, bisa saja itu adalah darah yang mematikan. Darah itu bisa membunuhmu pelan-pelan. Karena bagaimana pun, meski belum sempurna, anak itu adalah makhluk campuran.

Dan jika kau memasukan permata rubahmu ke dalam tubuhnya, permata itu sama sekali tidak berguna baginya. Permata itu hanya akan sedikit menyesakan hidupnya.
Karena kau baru meninggalkan permata rubahmu di dalam tubuh anak itu selama sembilan hari, berarti hanya ada satu jawaban. Saat permatamu masuk ke dalam tubuhnya, permata anak itu juga sedang berada dalam tubuhnya. Permata yang sedang bergelut dengan energi manusia di dalam tubuh anak itu, sepertinya telah teralihkan perhatiannya oleh kedatangan energi lain yang berasal dari permatamu itu. Permatamu bertarung melawan permatanya, dan pelan-pelan telah dikalahkan. Itulah sebabnya ekormu menghilang.”

Profesor Park mengemukakan pendapatnya—setelah menyaksikan ‘keajaiban’ yang terjadi pada Seul—tentang menghilangkan ekor Park Na Wi secara mengejutkan.

“Kalah? Bukankah permata miliknya sangat kecil mengingat dia adalah makhluk campuran?” Na Wi meminta penjelasan lebih.

Dengan berat hati, Profesor Park memberi tahu, “Sebenarnya makhluk campuran jauh lebih menakutkan. Kami bisa membunuh hanya dengan satu saja gerakan, bahkan meski tanpa gerakan—seperti yang telah anak itu lakukan. Tanpa sengaja, kau meminum darahnya yang mematikan.”

“Lalu apa yang harus saya lakukan?” Na Wi panik.

“Tidak ada,” Professor Park berdiri dari tempat duduk, “selama kau belum bisa memutuskan,” dan pergi beberapa langkah. Dia berhenti di tepi jendela dan berkata, “Kau harus segera memutuskan, sebelum kau terlalu jauh dikalahkan olehnya.”

Semalaman Na Wi berpikir keras. Memikirkan hal yang harus dia putuskan. Jika dia memilih untuk lanjut—berubah dari dirinya yang sekarang, maka dia hanya harus menunggu. Tapi Na Wi tidak tahu akan jadi apa dirinya kemudian. Jika dia memilih untuk berhenti dan tetap menjadi dirinya yang sekarang, bagaimana dengan permatanya yang telah retak karena terkalahkan? Benarkah benda itu akan baik-baik saja meski sudah keluar dari tubuh anak itu? Atau dia hanya akan bertemu dengan kematian? Kalaupun permata itu bertahan, dia hanya akan menjadi makhluk lemah yang menjadi incaran empuk makhluk-makhluk ‘liar’ lainnya.

Tanpa terasa, malam yang panjang berubah menjadi siang. Tanpa semangat, Na Wi bersiap untuk sekolah. Sepanjang jalan—di bus atau saat jalan kaki di trotoar, dia tak berhenti memikirkan keputusan yang harus diambilnya itu. Sapaan teman-teman—termasuk pamannya Seul—Na Wi abaikan. Dia yakin, orang itu tak tahu apa pun tentang keponakannya.

“Park Na Wi, kau dipanggil ke ruang konseling,” kata Ketua Kelas.

“Ya.”

Na Wi meninggalkan kelas untuk memenuhi panggilan. Apa pun itu, pasti bukan masalah besar, Na Wi yakin. Tidak ada masalah yang bisa lebih besar dari ini. Ocehan Guru Konseling, naik-turun nada bicaranya dan amarahnya, tidak begitu Na Wi pedulikan. Itu tak penting menurutnya, begitu pula dengan komentar negatif orang-orang.

Lalu mata Na Wi mendarat pada seseorang, Cha Gu Seul. Rambutnya sedang ditarik oleh seorang anak perempuan—yang dia ketahui sering membuntuti dirinya—dan rubah itu pura-pura kesakitan. Kini di mata Na Wi, Seul hanya seekor rubah liar.

Setelah membantu anak perempuan—yang didorong Seul—berdiri, Na Wi melancarkan aksi balas dendam.

“Rupanya kau bukan manusia. Kau membohongiku. Katamu itu adalah ritual, ritual penyelamatan. Tapi semua itu hanya bohong belaka, kan? Kau sama sekali BUKAN manusia. Kau penipu, penipu licik yang lihai sekali. Kau rubah. Kau TAK LEBIH DARI seekor rubah LIAR. Ayo!” Na Wi membawa serta anak perempuan itu. Setidaknya manusia ini tak begitu pintar menipu, pikir Na Wi.

Hari berganti, dan Seul menjadi semakin buruk di matanya. Seul terus bertingkah seolah dirinya manusia di hadapan semua orang. Lalu dia duduk murung dan pura-pura sedih di depan pamannya. Kalau sedih, menangis saja dan turunkan hujan! Tidak perlu merajuk dan merengek seperti manusia! Kau bukan manusia!

“Ya, pulang saja!” Na Wi mengungkapkan rasa kesalnya, lagi.
Dan ketika Seul mengatakan maaf dan menyilakan Na Wi untuk membencinya, DIA SEMAKIN MEMBENCINYA. Anak itu pikir, dia bisa menyembunyikan kebenaran selamanya? Huh. Na Wi tidak menyukai apa pun tentang Seul sekarang ini.

“Bukan. Aku membencimu, karena kau ternyata bukan manusia. Kau menipuku,” katanya, pada Seul. Dia juga bicara pada Gye Ran, “Kau juga pasti tidak tahu kan kalau sebenarnya keponakanmu ini bukan manusia? Seumur hidupmu, kau sudah ditipu olehnya. Dia bukan manusia, TAPI RUBAH. Sekarang aku bisa melihatnya dengan jelas. Kau—”

“Hentikan!” seru Seul. “Tanpa Sunbae katakan, aku pun tahu diriku ini apa. Benar, aku ini rubah dan bukan manusia. Karena itu, ku peringatkan kau ... mati kau,” ucapnya, sombong.
Tidak, kau telah membunuh. Satu ekorku telah kau hilangkan dan akan terus begitu sampai aku benar-benar menghilang. Kau membunuhku, rubah api campuran yang licik. Na Wi mengumpat dalam hati.

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें