13 - 4 : TETAP BERHARGA

101 10 0
                                    

Setelah semua orang membubarkan diri dan memastikan hanya tinggal Na Wi sendirian di Gedung Olahraga, Seul mengendap-endap masuk ke dalam sana. Pergerakan Seul ketahuan olehnya, dan Na Wi begitu benci melihatnya. Seul bisa mengerti itu.

“Bukankah kau memutuskan untuk berhenti? Kenapa masih di sini? Semua orang sudah pergi. Atau jangan-jangan, kau sedang mencoba merayuku lagi?” kata Na Wi, picik.

“Aku punya pertanyaan,” kata Seul, tenang.

“Apa?” Na Wi masih picik.

“Bagi Sunbae, apa yang paling berharga? Permata? Kekuatan? Kepandaian? Ketampanan?—”

“Hidup.” Na Wi memotong pertanyaan Seul yang belum selesai. “Hidup adalah yang paling berharga bagiku. Mudah maupun sulit, tetap berharga. Senang maupun sedih, tetap berharga. PANJANG ATAU SINGKAT, tetap berharga. Jadi, kau jangan mengganggu hidupku.”

Seul mengerti maksudnya. “Ibuku pernah berkata, ‘Selama aku menjadi gumiho, meski ratusan tahun lamanya, aku tidak pernah merasa hidup. Hanya ada.’ Menurutnya, kehidupan manusia adalah hidup yang sesungguhnya. Meski sekarang dia bahagia sebagai gumiho yang bersuamikan manusia, tapi sebenarnya dia menyesal karena gagal menjadi manusia. Dia tidak bisa merasakan masa tua. Karena itu, jika menurut Sunbae hidup adalah yang paling berharga, baiklah, akan kuberikan.”

Na Wi bertanya-tanya, apa yang akan anak itu lakukan?

Seul menutup mata, berkonsentrasi penuh. Dia memantrai dirinya untuk tidak membuat kesalahan. Dia harus memilih permata yang benar. Dengan sebentar menahan napas, menekan bagian dada, dan mengetuk jantung, Seul menemukan permata yang dimaksud. Seul menyedot keluar udara yang ada dalam tubuhnya untuk mendorong permata itu keluar—dengan sangat hati-hati. Dan sebuah permata kecil berwarna biru turun ke dalam genggaman.

Seul berkata, “Aku tidak akan mengembalikan permata Sunbae sampai hari ke seratus. Aku akan bertanggung jawab. Dan kalau aku benar, malam ini seharusnya adalah kematian kedua. Mau kutemani? Katanya jika pada saat kematian berada dekat dengan permata, kematian itu tidak akan terasa terlalu sakit.”

“Tidak perlu. Tidak begitu menyakitkan kok,” kata Na Wi, dingin.

“Benarkah? Syukurlah, kalau begitu.” Seul tersenyum sedih.

Tanpa mereka ketahui, bulan telah menampakan dirinya di luar sana. Kesakitan mulai terasa begitu Na Wi memutuskan untuk berbalik badan dan meninggalkan Gedung Olahraga ini. Dia menahan diri agar tidak terjatuh dan tidak nampak menyedihkan di depan rubah licik itu.

Tapi rubah licik itu sudah terlanjur tahu bahwa Na Wi sedang SANGAT KESAKITAN. Meski tahu, Seul tak bisa menghampirinya. Dia takut akan ditolak, dibentak, dan akhirnya diusir dari tempat ini. Jika itu terjadi, maka Na Wi akan BENAR-BENAR KESAKITAN. Seul tidak mau itu terjadi.

Ekor Na Wi muncul. Warnanya putih, berasap, indah sekali. Seisi gedung semakin terasa dingin setiap kali kedelapan ekor itu mengibas-ngibas kesakitan. Lalu salah satu dari ekor itu meredup seperti lampu. Kali ini Na Wi rubuh. Seul hampir saja menghambur padanya. Erangan sakit Na Wi semakin membuat Seul tidak tahan.

Lalu permata Seul bersinar. Benar, berada dekat dengan permata ibu membuat Seul merasa lebih baik. Jika Sunbae tidak bisa berada di dekat permatanya karena Seul, mungkin permata Seul bisa membantu. Seul memutuskan untuk meninggalkan permatanya di dalam gedung, sementara dirinya dengan sengaja membuat Na Wi tahu bahwa dirinya telah meninggalkan gedung ini. 

Na Wi melihat permata Seul yang tergeletak beberapa meter darinya. Permata itu bercahaya biru, indah sekali. Dengan susah payah, Na Wi merangkak meraih permata itu dan berhasil tepat ketika ekor yang ke-delapan meredup tadi mulai menghilang.  Na Wi memeluk erat permata itu, mendekapnya, berpegang padanya, dan tanpa terasa salah satu ekornya menghilang seketika. Ini adalah kematian kedua yang SANGAT menyakitkan karena retaknya permata miliknya yang dia titipkan di tubuh Seul.

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang