16 - 1 : JALAN-JALAN

94 9 0
                                    

Karena bekerja membersihkan panggangan dan melayani pelanggan di restoran waktu itu dinilai cukup menyenangkan, Seul dan Na Wi jadi ketagihan. Tapi mereka hanya punya kesempatan empat kali kembali ke restoran itu sebelum mengacau dengan mematahkan banyak panggangan, meja, dan benda-benda lainnya. Mereka nyaris dimintai ganti rugi oleh pemilik resto.

Selanjutnya, mereka mencoba jadi badut penghibur di musim panas ini, mereka yakin tak akan kepanasan karena memiliki kekuatan es Na Wi. Tapi akhirnya mereka diberhentikan juga, karena merusak kostum ketika mengalami kesulitan saat melepasnya.

Kemudian mereka menjadi pengantar makanan. Pemilik resto ayam sempat heran dengan kecepatan mereka mengantar pesanan yang secepat kilat, tapi dia puas karena mendapat pujian dari pelanggan. Mereka dapat upah lebih untuk itu. Dan suatu kali, Na Wi sangat lapar sehingga memakan pesanan yang harus diantar dan jumlahnya LEBIH DARI 10 PORSI. Pemilik resto MARAH besar karena merugi. Seul dan Na Wi meminta maaf dan mengundurkan diri.

Mereka juga pernah bekerja di tempat pencucian mobil. Seul dan Na Wi rajin sekali hingga dipuji dan dicemburui oleh pekerja yang lebih senior. Setelah total hampir satu bulan bekerja di sana-sini, Seul dan Na Wi janji berpesta. MEREKA MAKAN DAGING SEPUASNYA.

Jam sepuluh pagi, mereka janji bertemu di sebuah rumah makan. Di sana mereka memanggang berporsi-porsi daging dan menghabiskan 310.000 won. Sambil jalan, mereka mampir di warung ayam goreng—dua porsi ayam goreng untuk masing-masing diri, mereka anggap camilan. Sebelum waktunya makan malam, mereka sudah kembali lapar. Belasan gelondong sosis ukuran sedang mereka makan habis di pinggir jalan. Dan ketika jam makan malam tiba, mereka memesan banyak porsi daging sapi di resto yang pernah mereka hutangi—resto tempat mereka bekerja paruh waktu untuk pertama kali. Pelayan, yang waktu itu melayani, mengacungi jempol atas pembayaran luar biasa mereka kali ini. Mereka benar-benar berpesta seharian ini.

Dalam perjalanan pulang, barisan kaleng soda di mesin penjual minuman kembali menggoda. Dengan sisa uang yang ada, mereka memutuskan untuk membeli beberapa kaleng. Seul bertugas memasukan koin, dan Na Wi mengambil minuman kaleng yang akan dijatuhkan mesin. Tapi mesin itu bermalas-malasan, tak ada satu kaleng pun yang dia jatuhkan.

Na Wi bangkit untuk melakukan tendangan, tapi Seul mengajukan diri, “Sunbae, aku saja,” katanya.

Seul berkonsentrasi. Dia tak boleh merusak benda ini seperti waktu itu lagi, dia harus bisa mengendalikan kekuatannya. Ini adalah semacam ‘latihan’ untuk Seul.

Seul menendang sudut mesin pelan-pelan. Dia dan Na Wi menunggu, tapi mesin itu tak bereaksi. Seul menendangnya sekali lagi—dengan ditambah sangat sedikit kekuatan. Dan mesin itu tetap tak bereaksi. Na Wi hampir turun kaki, tapi Seul benar-benar ingin melakukan ini sendiri. Dia mencoba lagi, lagi, dan lagi—dengan pelan, agak pelan, keras, sangat keras, hingga mengerahkan seluruh tenaga. Akhirnya mesin itu memuntahkan kaleng-kaleng soda yang diinginkannya, tapi Seul tak bahagia. Ada apa dengan dirinya? Seul bertanya-tanya.

Na Wi segera mengambil kaleng-kaleng soda itu dan mendesiskan dua di antaranya. Na Wi menyodorkan salah satu kaleng soda yang telah dibuka pada Seul, tapi Seul tak merespons.

“Seul-ah, kau baik-baik saja?” tanya Na Wi, cemas.

Seul segera mengangguk kaku. Dia mengambil kaleng soda dari tangan Na Wi.

Sambil berjalan, mereka meneguk soda itu. Na Wi mendesah, “Ah, seharusnya aku tidak makan sebanyak itu tadi. Aku kan cari uang untuk tabungan masa depan. Kalau aku sudah jadi manusia, aku tidak akan bisa bekerja sebaik ini.”

Seul memandanginya. “Kalau begitu, aku akan membantu Sunbae.  Aku suka bekerja paruh waktu seperti ini. Sunbae boleh memiliki setengah dari gaji yang kudapat, dan sebagai gantinya ...” Seul berpikir.

“... Kalau aku hanya menyukaimu,” kata Na Wi, acak sekali.

Langkah Seul terhenti seketika. Aspal kasar yang sedang dilihatnya tiba-tiba berubah lembut, persis langit malam yang bertabur bintang. Seul tak tahu, apakah dirinya masih bernapas dan apakah jantungnya masih berdetak.

Na Wi sadar Seul tertinggal beberapa langkah di belakangnya. Dia melangkah mundur, mengintip wajah Seul yang membeku. Dipanggil, dilambai, dan dicolek, Seul tetap tak bergerak. Na Wi tahu sebuah cara yang pasti berhasil, dia mengecup pipi kiri gadis ini.

Seketika, bintang-bintang yang ada di aspal meledak-ledak seperti kembang api dan aspal itu berubah warna menjadi merah muda. Seul menyadarkan diri, berkedip-kedip dan geleng kepala secepat yang dia bisa.

“Seul-ah, kau baik-baik saja?” tanya Na Wi, cemas-heboh.

Seul menoleh cepat sekali. “Aku juga,” kata Seul, dengan ceria.

Na Wi tak mengerti maksudnya.

“Sunbae ...” Seul memandangi Na Wi, DALAM sekali. Dia baru sadar, ternyata alis Na Wi begitu hitam, bulu matanya panjang, matanya tajam, hidungnya segitiga siku-siku, dan bibirnya ... bibirnya semerah tomat. Seul ingin sekali memakan tomat itu.

“Seul-ah!” Na Wi bertepuk di depan hidung Seul.

Seul KAGET sekali.

“Kau tidak mendengarkanku ya?” Na Wi protes.

“Hah? Apa?” Seul masih setengah terhipnosis.

Na Wi malas mengulang ucapannya tadi. Dia akan langsung saja pada obrolan berikutnya, tapi sebelum itu Na Wi merogoh saku dan mengeluarkan permata Seul dari dalamnya. “Ini. Aku kembalikan padamu,” katanya, sambil menyodorkan benda itu pada Seul.

Seul otomatis mengambilnya. “Kenapa?” tanya Seul, tak mengerti.

“Aku pulang. Dari sini kau bisa pulang sendiri, kan?”

Seul mengangguk.

“Ya sudah. Dah!” Na Wi melambaikan tangannya sambil lalu.

Sekarang Seul termenung menatap permata miliknya. Kenapa tiba-tiba Na Wi bersikap seperti itu? Apa yang Seul lewatkan darinya selama perjalanan ini?

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO Where stories live. Discover now