12 - 3 : MARAH BESAR

85 12 0
                                    

Betapa pun disembunyikan, akhirnya kabar itu sampai pula ke telinga Dae Woong dan Mi Ho. Mereka diam seribu bahasa di hadapan putrinya yang baru saja tiba, diantar oleh pamannya yang permisi kemudian.

Ruang keluarga terasa dingin sekali. Daripada begini, Seul lebih memilih dimarahi habis-habisan, dipukul atau ditampar juga boleh oleh ayahnya atau ibunya. Cara Dae Woong menyuruh Seul duduk pun rasanya SANGAT MENAKUTKAN. Seul takut mereka percaya omongan orang dan tak mendengarkan penjelasan yang akan dia sampaikan.

Dibatasi meja kaca, Seul duduk berhadapan di sofa dengan ayah dan ibunya. Ada banyak kata dan kalimat, juga rentetan cerita yang ingin Seul sampaikan, tapi tak satu pun keluar dengan mulus dari mulutnya. Seul hanya berkata, “Appa, itu tidak benar. Sungguh, itu tidak benar. Eomma, itu salah paham. Sungguh, aku tidak— tidak—“

“Tidak benar?” nada bicara Dae Woong seram sekali, mengulang ucapan Seul.

Seul tak sanggup menatap wajah ayahnya. Dia bersembunyi di balik rambut dan menggeleng dengan leher kaku.

“Baiklah, aku percaya. Dalam situasi seperti ini, seharusnya pihak pria yang bertanggung jawab. Kau jangan khawatir.” Dae Woong berkata begitu—dengan dingin sekali. Dan setelah itu, dia meninggalkan ruang keluarga ini. Dia tidak tahu tindakannya akan disalah-artikan oleh putri tercintanya.

Mi Ho tetap di sana. Dia harus menenangkan putrinya, pikirnya. Lalu dia mulai buka suara, “Seul-ah, tahu tidak? Eomma percaya padamu,” katanya, mengangkat dagu Seul dan menyingkirkan rambut yang menutupi wajah manis putrinya.

“Benarkah?” pipi Seul telah basah.

“Hm. Appa juga percaya padamu.”

Seul menggeleng dengan tangis yang semakin mencair. “Appa marah. Appa tidak percaya padaku. Eomma, Appa membenciku.”

Mi Ho berpindah duduk ke samping kiri anak ini. “Tidak, tidak begitu,” ucap Mi Ho sambil mengelus rambut dan menghapus tangis anak ini. “Kalau Eomma saja percaya padamu, kenapa Appa tidak mempercayaimu? Kau tahu Appa lebih menyayangimu daripada Eomma, kan?”

Seul mengangguk-angguk patuh.

Sambil terus menghapus air mata Seul yang terus mengalir, Mi Ho menghibur, “Appa pernah bilang: jika hanya sepotong daging yang bisa Appa beli, maka Appa lebih memilih memberikan daging itu padamu daripada pada Eomma.”

“Benarkah?” tanya Seul, sedih. 

“Benar.” Mi Ho menggenggam pipi basah putrinya. “Jangan menangis, nanti hujan. Sekarang kau sudah punya ekor, kan? Suasana hati ayahmu sedang tidak baik. Jadi, jangan membuatnya menjadi semakin tidak baik dengan menurunkan hujan. Mengerti?”

“Hm.” Seul mengangguk.

“Uljima, ttuk!” lalu Mi Ho membawa putrinya ke dalam pelukan. “Aigoo, anak Eomma cantik, anak Eomma baik. Gwaenchanha, gwaenchanha,” dan menciumi ubun-ubun Seul dengan hangat.

Seul merasa nyaman di dalamnya.

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO Where stories live. Discover now