17 - 4 : TIDAK HUJAN

77 8 0
                                    

Dan setelah hari itu, Na Wi tidak pernah muncul kembali. Menurut Gye Ran, Na Wi menghilang tanpa keterangan. Seul memaksa Gye Ran untuk menemaninya pergi ke rumah tempat Na Wi tinggal, tapi di sana pun mereka tak bisa bertemu dengannya dan malah bertemu dengan Profesor Park untuk pertama kalinya. Kata Profesor Park, Na Wi pergi ke kampung halamannya. Di mana kampung halamannya, Profesor Park tak memberi tahu. Dia hanya meminta Seul untuk menunggu dan bersabar. Artinya Na Wi akan kembali, Seul menyimpulkan.

Satu malam, dua malam, dan sepuluh malam telah berlalu. Seul mulai tak tahan untuk menunggu. Dan pada suatu siang, dia membolos. Seul naik ke atap sekolah dengan bermalas-malasan. Dari sana, Seul bisa memandang langit lebih dekat. Dia sedang mencari tahu bagaimana caranya agar hujan turun di hari yang sangat cerah sekalipun—agar Na Wi mengira dirinya sedang menangis dan datang padanya. Setahu Seul, Na Wi belum tahu tentang dirinya yang telah resmi menjadi manusia. Untuk satu hal itu, Seul menyayangkannya. Tangisnya tak bisa menurunkan hujan.

“Sunbae sebenarnya ada di mana sih?” Seul berair mata, saking rindunya. Dia meringkuk di bawah terik matahari, di tengah atap yang lapang.

“Seul-ah, berhentilah menangis,” kata suara yang sangat dikenalnya.

Seul menoleh ke arah datangnya suara itu, dan benar, itu adalah Na Wi. Na Wi berjalan perlahan menghampirinya, sementara Seul bangkit dari tangisnya. Mereka berdiri berhadapan dengan jarak kira-kira tiga meter.

Na Wi berkata, “Meski kau menangis keras selama berhari-hari, hujan tidak akan turun untuk memberi tahuku tangisanmu itu.”

Seul terdiam. Apakah itu artinya Na Wi sudah tahu bahwa dirinya telah resmi menjadi manusia?

“Ya, aku tahu semuanya.” Na Wi menjawab pertanyaan Seul yang hanya digumamkan dalam hati. Dia berkonsentrasi PENUH pada gadis ini. Dia juga tahu, selanjutnya Seul akan berkata apa. Maka itu dia bicara duluan, “Kau mencariku ke rumah Profesor Park, memaksa pamanmu menyalinkan catatan untukku, bahkan menggantikan pekerjaan paruh waktuku. Aku tahu, Seul-ah.”

Seul terdiam beku.

Hela napas Na Wi amat menegangkan. Dia melangkah lagi hingga berada cukup dekat untuk meremas bahu kecil Seul. Matanya tajam menatap Seul, dan dia berkata, “Sekarang kau hanyalah  manusia yang diselamatkan oleh sebuah permata rubah kecil. Permata itu bisa saja rusak, jika kau terus bekerja dan menangis terlalu keras. JANGAN MERUSAKNYA. JANGAN MEMBUATKU MARAH.”

Meski kalimat itu terdengar manis, tapi Seul merasa dirinya seolah sedang diancam oleh Na Wi.

Na Wi meremas bahu Seul sekuat-kuatnya. “Kau ... ingin tetap hidup?” tanyanya.

Sekarang, Seul benar-benar merasa takut. Kedua bahunya menggeliat dan tangannya membantu bahu itu untuk lepas dari remasan Na Wi. Mata putih Na Wi yang mengepul membuat Seul semakin merasa ketakutan. Dia mengambil langkah mundur, tapi—

“KENAPA?” Na Wi menyentak. “Kau ingin menyimpan permata itu selamanya? Kau ingin menyimpannya? Supaya pendengaran lebih kuat, penglihatan lebih tepat dan larimu lebih cepat? Kau ingin itu? BAIK, SIMPAN SAJA! BIARKAN AKU MATI KESAKITAN.”

“Sunbae, kematianmu masih terus berlanjut?” Seul sedih.

“Ya, karena darah campuranmu dan aku menyesal memberikan permataku itu padamu,” katanya, lalu memalingkan muka dari Seul.

“Apa?” Seul tidak tahu itu.

Lalu bayang-bayang samar terngiang di ingatan. Saat itu, ketika kedinginan meretak di dalam dada, Seul melambai-lambai dengan putus asa. Dalam gelap, dia mendengar satu suara yang berbeda: bukan retakan, tapi dobrakan. Sepasang kaki berlari ke arahnya dan memangkunya.

“Seul-ah! Seul-ah, bangunlah! Seul-ah!” Na Wi mengguncang-guncangnya. Dalam lemas tenaganya yang tersisa, Seul mendengar, “Seul-ah, bertahanlah bersama permataku. Aku tidak apa-apa.” Lalu bayangan sedih itu terlihat di balik jendela. Ya, itulah kenapa rasanya SEDIH SEKALI. Na Wi memberikan permatanya pada Seul, padahal itulah satu-satunya energi yang dia miliki.

“AKU INGIN MENGAMBIL KEMBALI PERMATAKU,” ucap Na Wi, tanpa ampun.

Seul tersadar dari bayangan itu dan Na Wi menjadi semakin menakutkan di mata Seul. “S-Sunbae ...” Seul menahan rasa takutnya.

“Kau ingat? AKU MENYELAMATKAN HIDUPMU!”

Sambil terus melangkah mundur, Seul berkata begini, “Sunbae, kau tidak boleh begini padaku, aku tidak tahu. Aku ... aku akan kembalikan permata itu. Hm?”

“Bagaimana kau akan mengembalikannya?” tanya Na Wi, cepat. “TIDAK ADA YANG TAHU KAPAN KEMATIAN TERAKHIRKU AKAN TERJADI.”

“KARENA ITU, SUNBAE JANGAN PERGI DAN MENGHILANG SEPERTI INI.” Seul mendorong semua ketakutannya pada teriakan. “Supaya ... supaya aku bisa berikan permata itu tepat pada waktunya,” lanjutnya.

Mata marah Na Wi berair. “Kau sungguh akan merelakan permata itu untukku?” tanyanya, serius.

Pipi Seul dilintasi oleh air mata. Tentu Seul tak ingin mati begitu saja. Dia masih ingin hidup bersama ayah dan ibunya, naik sepeda bersama pamannya, belajar bersama teman-temannya, dan sesekali berkencan dengan orang yang sedang berada di depannya ini.

“Lihat! Kau juga tidak mau hidupmu berakhir!” protes Na Wi.

Air mata Seul mengalir lagi. Lalu dia berkata, “Ya. Tidak ada yang ingin mati. Manusia, siluman, bahkan hantu pun tak ada yang ingin mati. Silakan tanya pada diri sendiri. Sunbae, yang telah hidup lebih dari seribu tahun, pernahkah benar-benar ingin menyerah pada kehidupan itu? TIDAK. Karena itu Sunbae memintaku untuk tidak mengganggu kehidupanmu. Benar?”

Na Wi diam. Kemarahan kembali menguasai raut mukanya.

“LIHAT INI! Sunbae tak menyangkal sama sekali.” Seul menelan rasa sesaknya. “Aku akan berikan permata itu. Di hari ekor terakhirmu menghilang, aku akan berikan. Sampai saat itu tiba, jangan PERNAH menghilang dari pandanganku. Maka aku akan menepati janjiku.”

Na Wi memalingkan muka. Seul mengira, Na Wi tak percaya padanya. Padahal Na Wi sangat bahagia, sangat berterima kasih, dan—merasa bersalah padanya. Dia tak tahu harus mengungkap itu dengan apa, maka tangis mewakilinya dan hujan turun untuk menutupinya.

Seul mengangkat tangan untuk melindungi kepala dari jatuhan hujan. Dengan matanya yang menyipit menghindari hujan, Seul melihat Na Wi tersenyum lebar. Lalu orang itu berlari menghambur padanya, melepas jaketnya, melebarkan benda itu di atas kepala mereka berdua, dan beriringan mencari tempat untuk berteduh.

Di bawah atap kecil gudang penyimpanan barang, Na Wi berkata, “Seul-ah, terima kasih. Aku SUNGGUH sangat berterima kasih.”

Karenanya, Seul bisa tersenyum tenang.

Seul: Sunbae, sesenang itukah kau? Syukurlah. Meski aku tidak bisa tetap hidup untuk menemanimu, aku suka melihat senyumanmu itu. Ya, aku bersalah dan aku harus bertanggung jawab atas kesalahanku itu. Sudah seharusnya aku memberikan permata itu padamu. Eomma dan Appa juga pasti akan mengerti.

Na Wi: Seul-ah, terima kasih telah mengatakan itu. Aku tahu kau bersungguh-sungguh. Kau merelakan permatamu untukku. Aku BENAR-BENAR berterima kasih padamu, tapi aku hanya akan berada di sampingmu. Aku ingin menghabiskan sisa waktu selama tiga ekor terakhirku ini bersamamu. Bodoh sekali jika aku mati begitu saja.

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO Where stories live. Discover now