15 - 1 : SELAMAT MAKAN!

88 8 0
                                    

Kematian ekor keempat Na Wi lebih melambat dari sebelumnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kematian ekor keempat Na Wi lebih melambat dari sebelumnya. Terhitung sebelas hari dari kematian ketiga, ditambah enam hari berikutnya. Dan Seul merasakan sakit yang lebih lagi. Dia tidak yakin, apakah dirinya bisa melaluinya? Sedangkan Na Wi tak merasakan apa pun selain gatal pada pangkal ekornya yang kemudian menghilang. Padahal permata milik Seul telah tak bersinar—Na Wi tak mendapat bantuan dari benda itu. Apakah penyebabnya? Tidak ada yang tahu dan menyakini sesuatu tentang itu.

Pada hari itu, hari kematian ekor ke-tiga Na Wi, Na Wi merasa curiga dengan keluhan mengantuk Seul yang terdengar lemas. Berkali-kali mencoba untuk tidur, kantuk tak mau datang. Dia coba menelepon Seul lagi, tapi panggilannya tak diangkat. Jam demi jam berlalu dengan tak tenang, dan pagi pun datang. Na Wi tidak tidur sedetik pun malam itu. Karena setelah pagi pun dia masih tak tenang, dia memutuskan untuk bergegas datang ke rumah Seul. Dalam sekejap, Na Wi tiba di pintu halaman rumah Seul.

DING-DONG-DENG. DING-DONG-DENG.

Seul disuruh membuka pintu oleh ibunya yang sedang sibuk memasak. Dia kaget sekali saat melihat wajah Na Wi di interkom. “Sunbae?” gumam Seul.

Na Wi yang tak bisa melihat wajah Seul, tak bisa memastikan keadaan gadis itu. Dengan panik, dia bertanya, “Kau baik-baik saja? Cepat buka pintunya!”

Seul jadi ikut panik karenanya. Dia terburu-buru menuju pintu untuk membukakannya secara langsung. Dan ketika tiba di sana, otomatis dia dipeluk dengan sangat erat oleh Na Wi. Seul tak bisa berkata-kata, karena terlalu terkejut, untuk beberapa saat.

Berpuluh detik kemudian, “S-s-Sunbae, ada apa?” ucap Seul, gagap.

Na Wi melepaskan pelukannya, tapi tangannya masih menggenggam erat kedua bahu Seul. Matanya meneliti Seul dari ujung kepala ke ujung kaki dan keseluruhan wajahnya. Dia tak menemukan jejak rasa sakit di mana pun di setiap diri gadis ini. Sekali lagi, dia memeluk gadis ini, dan ....

“HEY, HENTIKAN KETIDAKSOPANANMU ITU!!!” Dae Woong berdiri tepat di belakang Seul—yang masih berada dalam peluknya—dan Mi Ho melongok dari balik punggung suaminya, “Ada apa?” tanyanya, dengan polos.

Na Wi segera melepaskan Seul dari pelukannya, dan Seul membeku untuk beberapa saat. Mereka berkomunikasi lewat isyarat mata—saling suruh untuk bicara dengan orang tua Seul. Komunikasi tiada akhir itu pun diputus oleh tarikan tangan Seul oleh ayahnya.

Na Wi tersenyum seadanya, kepada Dae Woong yang melotot ‘sadis’.
Seul segera mengalihkan kemarahan sang ayah dengan mengatakan bahwa dirinya sudah lapar. Dia membalik badan ayahnya, mendorongnya masuk ke dalam rumah, dan membuatnya duduk di meja makan. Seul tak melupakan Na Wi, dia mengajak Na Wi untuk sarapan bersama.

Sekarang di hadapan Na Wi ada begitu banyak piring berisi makanan. Setumpuk tumis tauge, setumpuk salad hijau segar, semangkuk besar sup tahu, dan yang paling menyenangkan adalah setumpuk daging sapi siap panggang. Park Na Wi menelan ludah, tidak sabar untuk menikmati makanan.

“Wah, menyenangkan sekali ada orang tambahan saat sarapan. Ayo dimakan, kau juga suka daging, kan?” Mi Ho menyambut Na Wi dengan baik, sedangkan Dae Woong nampak tidak senang. Dia masih menaruh ‘dendam’ karena pemandangan tadi.

Na Wi tersenyum pada Mi Ho. Sekali lihat, dia tahu bahwa Mi Ho adalah rubah seperti dirinya, tapi Mi Ho hanya memiliki satu ekor. Dia juga bisa merasakan bahwa Mi Ho telah mengalami pemulihan: permata rubahnya segar kembali setelah pernah ‘tercemar’ oleh energi manusia. Menurutnya, Mi Ho adalah rubah yang cantik. Na Wi terus memperhatikannya.

Seul tahu gerak-gerik itu. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar membenci Na Wi dan sepakat dengan ayahnya—Dae Woong juga tidak suka setiap kali istrinya merasa cantik ketika ditatap penuh kagum oleh pria lain.

“Eomeoni, jal meokgeseubnida!!” ucap Na Wi, semangat sekali.

“EOMEONI?!!” Seul dan Dae Woong melotot kaget.

Mi Ho melayang senang, tak terpengaruh oleh teriakan kaget anak dan suaminya.

Na Wi celingukan. “Kenapa? Aku tidak boleh memanggilnya begitu? Bukankah itu sudah seharusnya?” katanya, sambil menoleh kanan-kiri dengan sepotong daging di dalam mulutnya.

Dae Woong penuh dendam, sedangkan Seul terheran-heran.

“Oh, tentu saja boleh!” Mi Ho gembira sekali. 

“Aku harus pergi sekarang!” kata Dae Woong, lalu bangkit dari tempat duduknya dan pergi.

“Appa, tunggu!!” Seul menyusul ayahnya.

Na Wi kebingungan. “Seul-ah, tunggu aku!!” dan dia menyusul Seul.

Mi Ho menyumpit daging sendirian, dengan penuh dendam. Padahal baru saja dia mencicipi rasanya menjadi seorang ‘ibu mertua’, tapi berakhir begitu saja. Ada apa dengan mereka berdua? Gerutunya, dalam hati. Dia memutuskan untuk tak menyisakan tumpukan daging yang adalah persediaan untuk dua hari ke depan itu.

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO Where stories live. Discover now