⚫07⚫

3.7K 194 6
                                    

Arga mengambil biji kecambah yang telah diberikan Pak Amin untuk kelompoknya.

"Raden!" panggil Arga.

Sang empu yang dipanggil pun datang mendekat ke arah Arga.

"Ini, lo tanam semua. Kalau udah kelar, lo bilang ke gue!" perintah Arga.

Raden tidak bisa membantah, ia pun hanya bisa menerima perintah Arga begitu saja.

"Raden..." panggil Sheina lembut ketika Raden hendak beranjak dari tempat itu. "...Ini kerja kelompok, kamu seharusnya jangan mau ngerjain semuanya," ujar Sheina tersenyum.

Raden tersenyum. "Nggak apa-apa Shei, lagian ini juga sedikit kok," ucap Raden sembari mengangkat biji kecambah yang ia pegang.

"Nggak Raden, mau ini satu pun kita harus lakukannya bersama," ujar Sheina.

Sheina sepertinya sudah kehabisan kesabaran melihat perlakuan Raden yang lembut. Sheina pun lalu mengambil mangkuk yang telah berisi biji kecambah dari tangan Raden.

"Ja—ngan," Raden menghentikan ucapannya ketika Sheina sudah membawa biji kecambah tersebut.

Sheina berjalan mendekati Arga dengan langkah yang sangat cepat.

"Mau apa lo?" Arga menatap Sheina yang berada tepat dihadapannya.

"Kamu itu, bukan presiden yang bisa nyuruh orang sembarangan!" ujar Sheina.

"Oooh, jelas gue bukan presiden. Tapi, gue sultan!" sahut Arga.

"Ngimpi kali ya? Nggak usah mimpi, ayo kerjain tugas ini!" ujar Sheina.

Arga melihat tangan Sheina yang sudah memegang mangkuk bewarna hijau yang berisi kecambah.

"Lo aja yang ngerjain, kenapa ngajak gue? Oh atau jangan-jangan lo suka lagi sama gue?" ujar Arga yang meledek Sheina.

Sheina diam. Ia sangat malas menggubris ucapan Arga yang tidak penting. Ia juga tidak ingin membuat kericuhan lagi dengan lelaki aneh dihadapannya ini. Belum dimulai saja, sudah banyak pasang mata yang melihat mereka.

"Kenapa diam? Lo beneran suka sama gue!?" tanya Arga dengan suara lantang.

Hal itu membuat mereka menjadi pusat perhatian lagi. Sheina menyadari hal itu. Kedua bola matanya melihat segala sisi.

Sheina pun dengan segera melanjutkan percakapannya dengan Arga. "Kerjain, atau aku aduin ke Pak Amin?" ancam Sheina.

Arga tersenyum miring, "Aduin aja, lo kira gue takut?" ujar Arga.

"Ouh gue tau..." tambah Arga. "Raden!" panggil Arga.

Mendengar namanya terpanggil, Raden pun datang ke arah mereka.

"Biji kecambah ini, yang nanam dia dan yang nyiram juga dia. Tugas lo, cuma catet data dari semua. Ingat, jangan bantu dia sedikit pun. Paham!?" jelas Arga.

Raden memperhatikan Sheina sejenak, dia tidak bisa membiarkan Sheina melakukannya sendiri. Bagaimana bisa seorang lelaki membiarkan perempuan bersusah payah. Namun, dia juga tidak memiliki nyali untuk membantah Arga.

"Raden!" teriak Arga.

"I—iiya..." jawab Raden terbata.

Sheina diam, sejujurnya ia tahu bahwa Raden ingin membantunya. Namun, ia tidak bisa melakukan apa-apa karena takut dengan Arga.

"Yaudah Raden nggak apa-apa, ntar setelah ini kamu catat data aja." ujar Sheina.

Raden pun dengan sangat terpaksa mengangguk dan pergi dari hadapan mereka.

"Ngapai lo masih di sini?" tanya Arga.

Sheina menatap Arga dengan tatapan tidak suka, "Ayo kerjai ini!" jawab Sheina.

"Lo tuli? Kan udah gue bilang, lo yang ngerjain semuanya!" ujar Arga dan berlalu meninggalkan Sheina.

Sheina sejujurnya sangat tidak senang dengan perlakuan Arga. Akan tetapi, ia tidak ingin berdebat terus dengan Arga, ia pun melakukan tugasnya.

***

"Shei sabar ya," ujar Tea ketika Sheina berada di lab Biologi.

"Iya Te, nggak apa-apa kok." ujar Sheina tersenyum.

Mereka pun melakukan tugas mereka masing-masing.

Saat Sheina hendak menyiram biji kecambah yang telah ia tanam, tiba-tiba saja air mengguyur tubuhnya, membuat ia basah kuyup.

"Haaa..." teriak Sheina yang syok.

"Shei!" panggil Tea yang juga ikutan kaget.

Dinda melihat kejadian itu dari kejauhan. Ia pun langsung mendekat ke arah Sheina.

"Astaga Shei..." kaget Dinda.

"Yah, basahkan? Mck, hati-hati dong. Baru juga tugas kecil, udah teledor begini," ujar Arga yang datang tiba-tiba sembari tersenyum miring.

Baik Sheina, Dinda, dan Tea melihat ke arah Arga yang memegang selang air bewarna biru.

"Lo memang nggak punya hati!" ujar Dinda menunjuk Arga.

"Emang! Hati gue cuma buat Bela." jawab Arga tersenyum puas.

Sheina sudah tidak tahan lagi menyimpan emosinya. Ia ingin marah sekarang.

"Kam—lo itu hanya sampah masyarakat!" geram Sheina sembari menunjuk Arga dengan perasaan yang emosi.

Mendengar ucapan Sheina, Arga pun terbelalak, matanya menajam seolah ingin menerkam Sheina.

Sheina mendekati Arga yang menatap Sheina dengan tatapan kesal. "Puas lo kan?" ucap Sheina. "Inget, gue..." ucap Sheina sembari menunjuk dirinya. "...Bukan cewe yang bisa lo tindas semau lo!" lanjut Sheina dengan nada yang pelan, namun mematikan.

Sheina pun lalu berlalu begitu saja, dan kemudian dikejar oleh Dinda dan juga Tea.

Arga terdiam, entah apa yang membuat tubuhnya merasakan ada kejanggalan. Kejanggalan semacam apa, dia tidak mengetahuinya. Seharusnya Arga senang, karena sudah membuat Sheina marah. Bahkan, perlakuannya nyaris membuat Sheina malu. Akan tetapi, mengapa Arga merasa dadanya sesak. Saat wajah Sheina memerah karena amarah.

Apa ini?

Dengan tampang tidak bersalah, Arga pun berlalu meninggalkan wajah-wajah penuh tanya itu.

"Kenapa gue senang ya, saat Arga ngelakuin itu ke Sheina?" tanya Retista, yang entah sejak kapan berada disamping Manda.

"Kenapa?" tanya Manda bingung.

"Lo tahu kan, baru kali ini ada yang berani sama Arga. Gue nggak suka ada cewe sok, selain kita," ujar Retista berkata pelan kepada Manda.

"Jangan bilang, lo masih punya perasaan sama Arga?" tanya Manda menerka.

Retista tersenyum miring. "Setelah Bela pergi, sudah menjadi kewajiban gue mendapatkan hak yang tertunda selama setahun." ujar Retista.

"Re..." panggil Manda.

"Tenang Man, pelan tapi pasti gue bakal ngebuat Sheina juga merasa malu di sekolah ini, seperti apa yang diinginkan Arga." ujar Retista.

"Lo nggak berniat buat dia dibully kaya Grasia kan?" tanya Manda.

"Seharusnya iya, tapi Dimas udah keluar, jadi itu akan sulit jika tanpa dia. Dan gue akan merubah rencana." Jawab Retista.

Manda memejamkan matanya perlahan, kemudian ia membukanya kembali. "Re, gue rasa kita stop! Gue nggak mau, kita dikeluarkan. Cukup Dimas aja. Gue nggak mau kejadian dulu jadi boomerang buat kita!" ujar Manda.

"Calm down baby. Gue yang atur..." Retista tersenyum devil kepada Manda.

"Yaudah, kalau gitu gue balik ke kelompok." tambah Retista tersenyun dan berlalu meninggalkan Manda.

Ternyata, Rizky melihat dan sedikit menguping ucapan Manda dengan Retista.

"Gue bisa bantu," ujar Rizky yang tiba-tiba saja berdiri di samping Manda.

Manda terbelalak. Ia masih belum percaya dengan kehadiran Rizky dihadapannya.

"Apa aja yang udah lo denger?" tanya Manda dengan mata yang melebar.

"Tenang, gue nggak akan bocorin ini, dan gue bisa bantu lancarin semuanya. Tapi, itu nggak gratis." Ucap Rizky tersenyum miring.

"Apa? Lo dengar apa?" tanya Manda.

"Perlu gue ulang apa niat Retista, hm?" Rizky mendekat pada telinga Manda.

Manda terdiam. Seketika, angin dingin merasuki tubuhnya.

"Okay, apa yang lo mau?" tanya Manda.

"Simpel. Bantuin gue juga, dan gue bakal bantuin kalian," jawab Rizky.

Manda menatap Rizky dengan tatapan sinis. "Bantuin apa?" tanya Manda.

Rizky mendekat, lalu membisikkan sesuatu ke telinga Manda. Manda mendengar dengan seksama, namun ia terkejut saat mendengar penuturan Rizky.

"Retista nggak bakal mau—dan bukannya...." ucapan Manda terpotong oleh Rizky.

"Lo tinggal bilang ke Retista buat bantuin gue!" ujar Rizky.

"Tapi Retista bakalan nanya," ujar Manda.

"Lo bilang aja anceman gue ke dia!" sahut Rizky.

Rizky semakin mendekat ke wajah Manda. "Kalau lo nggak bisa, siap-siap aja..." ucap Rizky dengan suara pelan namun terdengar horror. "...Gue punya kartu as, lo berdua." Ancam Rizky.

Manda terdiam. Ia tidak menggubris ucapan Rizky. Ia benar-benar kacau sekarang. Tidak tahu, angin mana yang akan ia ikuti.

***

"Shei...." panggil Dinda.

Sheina hanya diam sembari mengambil baju olahraga yang ia bawa.

"Shei... Gue ada baju cadangan, ini kayanya muat. Baju ini memang gue letak di loker, soalnya buat jaga-jaga." ucap Tea dan memberi seragam sekolah yang ia pegang.

"Makasih," jawab Sheina lalu mengambil seragam dari Tea dan membawanya ke kamar mandi.

Dinda ingin menyusul Sheina, namun Tea langsung menarik lengan Dinda. Dinda melihat lengannya yang ditarik oleh Tea. Begitupun dengan Tea yang juga mengikuti arah pandang Dinda. Dengan cepat Tea pun langsung melepaskan tangannya dari lengan Dinda.

"Gue bilang juga apa... " ucap Tea yang menatap Dinda dengan tajam.

"Ingat Din, kejadian Grasia juga dimulai dari hal kecil seperti ini," ujar Tea mengingatkan.

"Tapi Sheina beda dengan Grasia!" Kali ini Dinda yang menatap Tea dengan tajam.

"Jangan karena mereka beda, kita jadi lupa!" ujar Tea menekan setiap ucapannya.

"Te..." panggil Dinda yang mulai memelankan suaranya.

"Gue ada saat kejadian itu Din, tepat ditempat itu!" ujar Tea berkata lantang.

"Siapa Grasia?" tanya Sheina yang tiba-tiba masuk.

"Shei, udah? Wah bajunya pas di badan lo," ujar Tea.

"Bagus, tapi sedikit ngepas. Lo nggak apa-apa?" tanya Dinda.

"Nggak apa-apa, yang pentingkan tertutup sama jilbab." ujar Sheina.

Dinda dan Tea mengangguk dan tersenyum kepada Sheina.

"Tadi ak—gue dengar..."

"Ayo ke lab lagi!" ajak Tea.

"Ingat Shei hati-hati! Tapi kayanya, si cowo laknat itu udah nggak di lab sih," ujar Tea.

Sheina pun mengangguk pasrah dan mengikuti ucapan Tea. Sedikit ada kebingungan di benak Sheina. Sejak kapan Tea mulai simpatik dengannya? Yang Sheina tahu, Dinda lah orang yang selalu perhatian dengan Sheina.

Namun, Sheina tidak terlalu memedulikan hal itu. Ia mengabaikannya dan menganggap itu hanya pedulinya seorang teman pada temannya.

***

Sheina menutup laptop miliknya. Ia kemudian menidurkan tubuhnya di kasur yang berukuran sedang. Sheina kemudian memejamkan kedua bola matanya.

Saat ia menutup matanya, tiba-tiba saja ia teringat kejadian waktu di sekolah tadi.

Sheina pun kemudian membuka kedua bola matanya kembali.

"Kenapa sih, si cowo gila itu suka banget cara masalah sama aku?" 

Sheina kemudian berdecak. "Aku salah apa sih sama dia?" 

Sheina kemudian mengintropeksi dirinya. Ia ingin mengingat kejadian apa yang telah diperbuatnya sehingga Arga sangat marah dengan Sheina.

"Nggak ada deh," ucap Sheina. "Perasaan dia mulu yang buat aku palak." tambah Sheina.
*Palak = kesel

"Duh, kenapa sih aku nggak langsung dapetin si cowo yang mau dijodohkan sama aku. Biar cepet balik ke Medan." ucap Sheina. "Apa... aku tanya aja kali ya sama bunda namanya siapa?" tanya Sheina lagi.

Sheina kemudian mengambil ponsel yang ada di sebelah bantalnya.

Ketika Sheina menatap layar ponselnya, tiba-tiba saja Sheina mengurungkan niatnya untuk menanya sang bunda siapa nama leleki yang dicarinya itu.

"Nggak. Aku harus bisa cari tahu sendiri tentang dia. Aku yakin, sebentar lagi aku pasti akan ketemu sama dia. Intinya aku harus sabar dulu, karena kalau gegabah mungkin ini bisa kacau." ucap Sheina. "Meskipun aku harus sabar-sabar ngadepin Arga si cowo gila itu." tambah Sheina sembari memanyunkan bibirnya.

Sheina pun kembali meletak ponselnya di tempat semula.   

To be continued....

------

Yippi....

Sorry ya part ini sedikit membuatku lelah. Karena idenya yang terbilang cukup sederhana, namun saat dikembangkan menjadi seperti ini.

Tolong banget nih jangan sider :)

Our Crazy WeddingWhere stories live. Discover now