{The Journey - III}

4K 510 12
                                    

'Tumbuhan ini kuat meskipun hidup di tanah yang gersang. Akarnya pun bisa tumbuh sepanjang 50 meter.'

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hyades memeluk lututnya di atas kasur sembari menatap keluar jendela berukuran sedang yang sedikit tertutup salju diluar. Rumah ini terbuat dari batuan yang kalau dari luar terlihat sangat mirip dengan goa. Mungkin memang sengaja dibuat berkamuflase agar tidak terlalu mencolok jika dilihat oleh orang yang tidak sengaja lewat kemari. Keduanya berada di kamar tamu lantai dua sekarang. Hyades tersenyum. Sihir memang hal paling hebat yang pernah ia tahu. Ia harus belajar banyak soal itu meskipun sebenarnya ia berasal dari bangsa elemen.

Sideris bergelung nyaman di dalam selimutnya. Hyades memperhatikannya sebentar lalu kembali beralih ke kaca jendela. Langit malam tidak terlihat disini. Mungkin saking dinginnya, langit pun sampai berkabut tebal. Hyades padahal sedang ingin melihat bintang. Namun niatnya menjadi gagal total melihat kondisi diluar. Ia rindu dengan hyungnya. Seokjin hyungnya yang terakhir kali ia lihat sebagai Aphelion, yaitu seorang pangeran yang lahir di peradaban pertama yang memimpin kerajaan bintang membuat Hyades jadi menerka-nerka. Bagaimana keadaan disana? Apakah berbeda dengan keadaan dibawah sini? Hyades tidak bisa membayangkan, bagaimana caranya seseorang bisa hidup di atas langit?

Hyades menghela nafasnya. Ia membaringkan tubuhnya sembari menarik selimut hingga ke hidung dan hanya menyisakan sepasang matanya yang masih terjaga. "Selamat malam Sideris. Semoga tidurmu nyenyak dan mimpi indah." gumamnya lalu berusaha tidur.

Setelah beberapa menit kemudian Sideris membuka matanya. Ia melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Hyades. Setelah dirasa yakin bahwa temannya ini sudah tertidur, ia menurunkan selimut dan menurunkan kakinya ke lantai. Ia berjalan keluar dan menuruni tangga menuju ruang makan. Tangannya meraih gelas dan menuangkan air kedalamnya sembari duduk di salah satu kursi disana.

"Belum tidur rupanya?" sebuah suara membuatnya tersentak. Untung saja acara meneguk airnya sudah selesai.

"O-oh nuna." Sideris membulatkan matanya saat menyadari bahwa seseorang berdiri di ujung tangga.

"Panggil saja Irish. Tidak usah terlalu formal begitu." ucapnya lalu mendekat dan menuangkan segelas air untuknya sendiri.

"Tapi aku tidak terbiasa begitu. Terlebih kau seumuran dengan hyungku." Sideris merasa canggung.

"Hahaha.. begitu ya? Tapi Jed tidak pernah memanggilku nuna. Dia malah lebih suka menggodaku dengan cara memanggilku tuan Putri." Irish tertawa pelan. Ia sadar betul bahwa sekarang sudah lewat tengah malam. "Ah, lagi pula kalian memang keturunan kerajaan. Panggilan hormat tentulah sangat penting dibandingkan apa pun." angguknya.

Nebula {The Puzzle of Memory} [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now