Tabir Kematian

2.3K 140 5
                                    

"na?". suara iffah memecah keheningan ku. aku begitu jatuh. pagi tadi umi mencemaskan ku karena akan ada acara haul nya gus waffa. waktu begitu cepat gus.. cepat sekali. mungkin, jika kamu masih ada, kamu yang akan mengambilku dari abahku bulan depan.. astaghfirullah.. nda boleh gitu na...

aku mendongak. lalu iffah duduk di kursi riki. dan mendekat kan nya pada ku. suasana kelas saat itu tidak begitu ramai. jam kelas kosong tadi. jadi banyak yang pulang atau sekedar ngobrol di taman.

"gue tau na.. gue juga dapet undangan nya.. tadi malem juga gue di chat Naura kalo lusa ada...". ku potong pembicaraan iffah.

"cukup! lo dateng aja fah.. gue terlalu lemah.. gue nggak bisa.. ". tangisku pecah.

Naura Ar-Razi. adalah adik satu-satu nya Gus Waffa. dia begitu baik padaku. tapi sudah lama aku tak mendengar kabarnya. kata nya, dia kuliah di ibu kota. usia nya dua tahun dibawahku.

"na.. lo nggak boleh kayak gini.. lo sebenarnya kuat na.. cuman lo negatif thinking aja.. ".

aku menggeleng.
riki masuk ke kelas dengan lari nya. nafas nya tak beraturan.
"na.. na... lihat!.." kata riki menunjuk kan video di handphone nya.

dalam video itu polisi sedang mengungkap kematian waffa ar-razi. tapi apa yang akan di ungkap? dia meninggal dengan wajar. setelah 6 tahun kepergian nya. kini waffa hadir kembali. mengungkap kematian nya. tapi apa? tak ada luka sedikit pun kecuali  bekas suntikan jarum infus yang memerah yang kulihat saat terakhir kalinya dia menarik napas panjang dan  pertama juga terakhir kalinya aku memegang tangan nya secara langsung.

"na?". suara riki lirih.

aku tersenyum dalam tangis diamku.

"apa ada yang belum gue tau dari masalah ini?". tanya riki. menatapku penuh dengan tanda tanya.

iffah menyenggol siku riki.

"waffa ar razi? bukankah dia pewaris tunggal kyai imran arrazi dulu? pangeran alfiyyah nya pondok al islam?". riki menebak-nebak.

aku terkejut omongan riki. dari mana dia tau?
"lo? tau dari mana hal ini?". tanyaku.

"gue dulu sekolah di madrasah medina. gus waffa kelas A gue kelas B! jadi sedikit-sedikit gue tau lah.. faiz juga alumni medina..". terang nya.

iffah melotot.

riki  dan faiz alumni medina? kok aku nggak pernah liat dulu? yah.. emang aku kenal riki waktu awal kuliah. sebelumnya aku juga nggak kenal riki. kenapa dunia se sempit ini gusti?

"kalian alumni medina?". aku masih ragu.

"enjeh Ning Najma... medina.. tapi dulu gue dan faiz nggak mondok. yah.. mungkin kalau mondok pasti udah kenal sama lo dari dulu. kita tau nya dulu ya, pondok, asrama, madrasah, panti asuhan medina itu pengasuh nya Kyai Syareif Husein..".

"kenapa bisa sedeket itu gue nggak ketemu kalian?". aku masih ragu.

"takdir na..".

aku kembali terdiam. air mataku keluar begitu saja. lamunan ku semakin jelas. wajah waffa ar-razi tergambar dengan jelas. badan nya yang tinggi. tak begitu gemuk dan kurus. rambut tebal nya. mata nya yang luas. yang membuat ku leluasa saat menatap mata nya. jari jemari nya yang panjang, hingga terukir pembuluh darah nya. waffa ar-razi yang selalu senyum satu kali dalam sehari. bukan sombong atau pelit. namun dia selalu bilang, "senyumku hanya tergambar saat najma husein bahagia. dan bahagia nya hanyalah satu kali dalam sehari. itu pun hanya pada malam saat tahajjud bersamaku..". kata-kata nya masih terekam jelas di ingatan ku.

"na? lo kenal gus waffa?". tanya riki.

"bukan kenal lagi. gue hampir tunangan dulu saat aliyah. gue.. gue sayang sama dia ki! gue kenal dia saat dia mondok di pondok abah gue. banyak kisah konyol antara nana dan waffa. malam tahajjud yang selalu dia habiskan bersama gue. dan pada akhirnya, allah menyuruh nya untuk kembali. saat itu pula gue nggak mau bercinta lagi. gue lupa bagaimana rasanya merindu. gue takut perpisahan ki!.. gue benci rumah sakit! gue benci leukimia! gue benci!!". emosiku meluap.

Pangeran Alfiyyah [SELESAI] Where stories live. Discover now