「🏮」pandangan psikolog ; bahaya kpop

786 40 5
                                    

Musik K-Pop atau Korea pop termasuk salah satu yang digandrungi oleh milenial seluruh dunia termasuk Indonesia. Para generasi milenial ini begitu tergila-gila dengan para boy band atau girl band K-Pop, sampai rela melakukan hal-hal yang di luar akal.

Psikolog Ratih Zulhaqqi, MPsi mengatakan, seseorang dikatakan sebagai fans fanatik hingga menjadi 'bucin' K-Pop ketika mereka sudah sampai tahap menyukai dengan mendalam. "Sehingga rela melakukan hal dilakukan demi idolanya, mengikuti gayanya atau sampai membeli merchandisenya yang mahal. Bahkan rela menonton konsernya dan rela menabung ekstrim dan sebagainya," kata Ratih.

Kecanduan pada K-Pop ini menurut Ratih bisa sampai mengalahkan logika berpikir seorang fans. Menurutnya jika hal ini sudah sampai terjadi, harus diwaspadai.

"Selama seseorang itu masih bisa mengontrol responnya, perilakunya ketika dia menyukai sesuatu itu masih tidak apa-apa. Tapi kalau misalnya dia sampai mengalahkan logika, lalu kemudian tidak bisa mengontrol respon sampai akhirnya dia melakukan berbagai macam cara dan menghalalkannya, nah itu baru perlu dikaji lebih lanjut," jelasnya.

Menjadi bucin K-Pop hingga melakukan hal di luar logika, ditambahkan Ratih, bisa merusak jati diri seseorang. "Karena dia akan hidup dimana bayang-bayangan dari sesuatu yang dia sukai dan jadi sibuk untuk selalu fokus untuk dengan hal yang dia sukai tanpa fokus dengan perkembangan dirinya dia," ujar psikolog anak yang berpraktek di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok itu.

Ratih melihat, aksi fans fanatik para K-Popers ini seperti orang yang sedang dimabuk cinta. Sehingga logika pun bisa terkalahkan dengan hasrat demi bertemu sang idola.

"Sama saja seperti orang yang sedang jatuh cinta. Kalau misalnya dia jatuh cintanya nggak pakai mata, akhirnya emosinya itu menguasai pikirannya dia. Nah, sama ketika seseorang adore dan memuja sesuatu itu kadang sampai lupa diri," katanya.

Ratih menambahkan kegilaan seseorang pada artis ini tidak hanya terjadi pada fans K-Pop saja. Menurutnya ada juga artis lain yang memiliki fans fanatik. Dan kata Ratih adalah sebuah hal wajar ketika pada fase remaja, seseorang memiliki idola.

"Setiap remaja itu punya fase di mana dia adore, atau memuja sesuatu. Kayak aku dulu suka banget dengan salah satu band dan aku mengikuti konsernya. Cuma ya nggak sampai bolos sekolah, sampai nggak makan, demi buat beli tiket. Jadi aku berusaha untuk tetap realistis bahwa ketika aku menyukai sesuatu itu, disesuaikan dengan batas kemampuan diri kita," sarannya.

Peran orangtua dalam mengawasi perilaku anak juga harus diperhatikan. Menurut Ratih, jangan sampai anak menganggap orangtua bisa diandalkan untuk mewujudkan keinginan mereka yang berkaitan dengan sang idola.

"Karena kan beberapa anak akan mudah untuk berpikir bahwa, Oh nanti gampang beli tiket, nanti kan pasti dibeliin sama mama atau papa. Oh gampang deh walaupun tiket ke luar negeri murah kok kalau buat mama dan papa," tutur Ratih.

Orangtua juga berperan untuk membimbing anak agar aksi fanatisme tersebut bisa lebih bermanfaat. "Kalau misalkan dia mengatakan cakep nih secara fisik atau suaranya bagus. Tapi value apa sih yang mereka dapat? Oh ternyata mereka itu bekerja keras untuk mendapatkan kesuksesannya dia yang sekarang. Jadi ada hal positifnya yang bisa dilihat dari orang-orang digandrungi pada remaja atau generasi milenial," tutupnya.

-------------------------------#####------------------------------

"Bahaya Dibalik Fenomena Candu Kpop"

Sumber : CNN Indonesia

Setiap idola mesti memiliki penggemar. Dan sebagian di antara mereka memiliki rasa cinta yang lebih besar sehingga cenderung fanatik. Begitu pula yang terjadi dengan K-pop. Namun dari sudut pandang psikologi, kegandrungan para K-Popers ini menimbulkan ketertarikan sekaligus kecemasan.

Hal itu diakui oleh praktisi dan akademisi psikologi Vierra Adella. Dosen Universitas Atma Jaya Jakarta tersebut bahkan menyebut bahwa kegandrungan para K-Popers yang jumlahnya bisa dibilang masif sebagai sebuah "fenomena" dan jadi lahan baru bagi sebagian orang mendulang cuan.

"[Hiburan] Korea ini fenomenanya dipoles sedemikian [rupa] sehingga didukung semua [aspek]: media mendukung, bisnis dukung. terus sosial media enggak berhenti. Mereka [industri hiburan Korea] juga produktif," kata Adella kala berbincang dengan CNNIndonesia.com, baru-baru ini.

"Ini berbeda dengan idola biasa, macam Katy Perry atau Justin Bieber," lanjutnya. "Kalau secara alaminya, ada masa hidup-mati, naik-turun. Kalau Korea ini bukan hanya mengangkat satu figur. Semua sistem bekerja membuat ini menjadi langgeng,"

"Sehingga masyarakat seperti diciptakan sebagai sebuah ladang bagi mereka, sehingga betah di dalam itu berlama-lama," tambah Adella.

Adella bukan sembarang berkomentar pedas terkait gelombang budaya Korea yang sudah 'menginvasi' Indonesia lebih dari sedekade lalu. Dirinya kerap menemukan berbagai kasus, yang sebagian besar melibatkan anak di bawah umur, keranjingan konten hiburan Korea hingga menimbulkan masalah perkembangan psikologis atau pun dalam kehidupan mereka.

Adella tak menampik bila fenomena fandom atau keranjingan akan idola tersebut telah ada sejak dulu kala, termasuk era The Beatles atau pun Elvis Presley. Namun faktor "kelanggengan" dan bisnis yang kental terasa dalam fenomena ini membuat sebagian ahli kejiwaan, kata Adella, menyamakan K-Pop dengan narkoba.

"Masyarakat jadi nagih. Dibuat 'sakau' kalau tidak melihat," kata Adella. "Kalau sudah seperti itu, minimal pulsa [yang terkorbankan],"

CNNIndonesia.com sendiri telah bertemu dengan sejumlah penggemar K-Pop yang memiliki kisah fanatisme yang tak biasa, seperti mulai dari mengejar idola hingga rela menginap satu hotel, mengeluarkan ratusan juta untuk membeli album demi kesempatan dapat tanda tangan, hingga merasa 'tidur bersama idola' hanya karena ada posternya mengarah ke tempat tidur.

Sejumlah aksi fanatisme K-Popers lainnya pun pernah terekam dalam pemberitaan, baik di Indonesia maupun di negara lain, mulai dari rela menunggu berjam-jam untuk menyambut kedatangan idola, hingga menyakiti diri sendiri kala idolanya meninggal dunia.

Menyasar Remaja

Menurut Adella, kelompok remaja memang adalah sasaran dan alasan utama mengapa konten atau pun segala hal tentang Korea, termasuk K-Pop ataupun K-Drama, menjadi langgeng.

Adella menilai bahwa konten hiburan yang dibawa Korea lebih banyak menyebabkan fungsi otak pada remaja yang rentan menjadi pruning alias penurunan fungsi akibat terputusnya neuron karena tidak digunakan.

Pruning sebenarnya terjadi secara alamiah seiring dengan perkembangan otak pada manusia. Namun menurut Adella, ketika seseorang terlalu berlebihan dalam menyukai hiburan yang membuat senang, maka fungsi produktif pada otak bisa terancam.

"[Konten] Korea lebih banyak ke hiburan kan? Hiburan sebenarnya ada porsi yang dibutuhkan oleh manusia. Nah di [hiburan] Korea ini porsi hiburannya melebihi porsi untuk otak produktif," kata Adella.

"Jadi, berpikir waras dengan khayalan, porsinya tidak imbang. Makanya temuan-temuan [kasusnya] yang paling banyak, yang fanatik ini," lanjutnya.






.
.
.

Jadi secukupnya aja ya kalau suka, jangan berlebihan^^
.
.
.

about k-popersWhere stories live. Discover now