Chapter 36

52.3K 4.3K 220
                                    

Selamat hari Raya Idul Fitri mohon maaf lahir dan batin 🙏🙏🙏

Happy Reading 😊

Sepulang sekolah Lea langsung berlari masuk ke dalam rumahnya, mencari keberadaan sang Ayah dengan air mata berlinang.

Sejak bertemu Devian, perasaannya semakin tak enak. Pernyataan Devian pun ia abaikan begitu saja.

"Papi hiks," panggilnya saat melihat Arga yang baru saja menuruni tangga.

"Loh, Lea kenapa? Kenapa nangis, sayang?" Langkahnya dipercepat, tangan kekar itu bergerak memeluk anak perempuannya, mengusap pipi basah Lea dengan sayang.

"Abang mana? Lea mau ketemu  Abang," ucap Lea sesenggukan.

"Jawab dulu kenapa Lea nangis, siapa yang udah bikin anak cantik Papi nangis?"

Gadis itu menggeleng. "Lea mau cerita sama Abang aja, Pi. Abangnya Lea hiks mana?"

Arga menghela nafas pasrah. "Lea ganti baju dulu, bersih-bersih dulu baru boleh ketemu Abang," balasnya.

Tangisan itu terhenti, ia mengangguk patuh kemudian berjalan dengan segera menuju kamarnya.

"Abang ada di kamarnya," pesan Arga.

Lea hanya bergumam saja membalas sang Ayah, ia ingin segera bertemu Kakaknya.

***

"Abang?" panggil Lea membuka pintu kamar sang Kakak.

Di sana Lea bisa melihat punggung Abangnya yang tengah berbaring menyamping. Gadis itu mendekat secara perlahan agar tak membangunkan tidur nyenyak Leo. Ia merangkak menaiki kasur dan duduk tepat di sebelah cowok itu.

Leo bergerak mengubah posisinya menjadi terlentang, Lea hampir saja berteriak sebab terkejut. Untung saja Leo tak sampai terbangun. Ditatapnya wajah damai itu dengan seksama, hampir sehari tak bertemu Leo membuatnya begitu merindukan sang Kakak. Namun, alisnya menyatu melihat bagaimana pucatnya wajah cowok itu.

Tangan Lea tergerak untuk menyentuh kening sang Kakak, tapi tangannya seketika ditahan oleh Leo dan membawa tangan mungil itu ke atas dada telanjangnya.

Mata cowok itu perlahan terbuka, bibirnya tersenyum bahagia saat bisa melihat adik kesayangannya lagi. Sedang Lea, matanya malah berkaca-kaca saat tangannya merasakan tubuh hangat sang kakak.

"Abang sakit? Udah minum obat, belum?" tanyanya.

Leo mengangguk masih dengan senyum lemahnya. "Lea udah makan?" tanya Leo pula.

Gadis itu menggeleng, tangannya yang berhasil lepas dari pegangan Leo segera menangkup kedua pipi kakaknya.

Panas.

"Abang kenapa bisa sakit? Pasti di rumah temen Abang semalam, Abang main hujan, ya? Kenapa bandel, sih? Abang selalu marahin Lea kalau main hujan, tapi Abang sendiri yang main," omelnya.

Membuat Leo terkekeh kecil,  tangannya menarik sang adik ke dalam pelukannya, mengecup kening Lea lama.

"Abang kehujanan, bukan main hujan," ralat Leo. "Tadi di sekolah Lea ketemu Dev, gak? Besok-besok Jangan mau kalau diajak Dev pergi, ya, dia bukan orang baik," pesan Leo.

"Lea udah tau," balas Lea mengeratkan pelukannya di leher Leo. "Tadi Kak Dev cerita sama Lea. Kak Dev minta maaf, tapi Lea gak mau maafin," jawabnya.

Bibir itu melengkung lucu, menandakan sang pemilik sebentar lagi akan menangis. "Tapi Lea gak tega, Kak Dev udah minta maaf ke semuanya. Kak Dev udah minta maaf ke Kak Aland dan dibalas dengan pukulan sampai-sampai harus masuk rumah sakit. Abang juga udah mukul Kak Dev waktu itu, Papi pun udah tau. Lea takut Papi apa-apain Kak Dev."

Tangan Leo seketika mengacak rambut sang adik lantaran gemas. "Orang yang salah memang harus dihukum. Jadi gak apa-apa kalau Dev diapa-apain sama Papi, karena Papi mau kasih pelajaran sama orang yang udah buat anaknya sedih," balas Leo.

Lea mengangguk saja, ia bangkit dari pelukan Leo. "Abang makan, yuk. Lea lapar tapi Lea gak mau makan sendiri, Abang harus makan sama-sama Lea juga."

"Tapi Abang sudah makan, Abang temenin Lea makan aja, ya," tawarnya.

"No!" tolak gadis itu. "Abang harus makan."

"Abang udah minum obat, nanti kalau makan lagi obatnya bisa-bisa gak bekerja," jelasnya.

Bahu Lea meluruh seketika. "Tapi badan Abang masih panas. Kata Papi kalau demam harus makan biar cepat sembuh."

"Kan Abang udah makan sebelum minum obat," jawab Leo, ia ingin memeluk tubuh mungil itu lagi, tapi adiknya harus makan dulu.

Mendengar itu Lea merapatkan tubuhnya dengan Leo, dahinya ia tempelkan di dahi sang Kakak. Dengan begitu, ia bisa merasakan suhu tubuh Leo.

Matanya dipejamkan seraya memeluk leher Leo. Tak lama kemudian gadis itu menjauh dengan senyum merekah.

"Udah, pasti sebentar lagi panasnya hilang," ucapnya begitu ceria.

Membuat Leo bingung dan gemas secara bersamaan. "Emang Lea tadi ngapain?"

"Lea tadi bilang dalam hati kalau panas di badannya Abang biar dipindahin aja ke badannya Lea. Abang gak boleh sakit, Lea gak suka," jelasnya.

Tatapan sang Kakak berubah sendu. Hatinya lagi-lagi sakit bagai terhantam batu besar mendengar ucapan adiknya. Mengapa ia begitu jahat pada gadis sebaik Lea dulu.

Leo menggeleng. "Gak boleh, Abang gak izinin Lea sakit. Kalau Lea sakit Abang juga ikut sakit," jelasnya. "Sekarang Lea makan, ya. Abang temanin, ayo," ajak Leo mulai beranjak.

"Gak! Biar Lea aja yang bawa makanannya ke sini. Abang istirahat aja. Kalau Abang nolak, Lea marah!" Ia segera berdiri, berjalan cepat meninggalkan kamar Leo.

Kakinya melangkah menuju meja makan. Mencari makanan yang sudah dimasak Ibunya.

Karena meja makan berada di dekat dapur dan pintu menuju halaman belakang pun ada di dapur, samar-samar Lea bisa mendengar suara percakapan seseorang dari sana.

Karena rasa penasaran yang begitu tinggi, ia pun berjalan mengikuti arah suara. Tepatnya di halaman belakang.

Mata bulat itu menyipit bingung saat melihat sahabat-sahabat Ayahnya tengah berkumpul mengelilingi sesuatu.

Di sana ada Arga, Sean, Jerry, Brian, dan Dimas. Mereka terlihat saling melempar pendapat satu sama lain.

"Bakar aja," sela Jerry.

"Sadis amat lu!" Itu suara Ian.

"Kita bawa ke kantor polisi aja," usul Sean yang diangguki oleh Dimas.

"Udalah, ribet kalau ke kantor polisi lagi. Mending langsung suntik mati!" jengah Jerry lagi.

"Gue tau Lo dendam, tapi gak gitu juga, bodoh!"  sebal Ian.

"Makanya, Jer. Kalau ada pembagian otak Lo jangan lupa datang! Biar kehadiran Lo di sini bisa berguna meski sedikit," sindir Dimas.

"Papi," panggil Lea, membuat semua menoleh gelagapan, takut ketahuan dengan gadis itu.

"Papi sama Om-om ngapain di sini? Apa yang mau di bakar sama Om Jerry? Suntik mati itu apa, Pi?" tanyanya.

Seketika Jerry merutuki kebodohannya. Mengapa ia tak sadar ada belahan jiwanya di sana.

Gadis itu berjalan mendekat, membuat para pria pasrah akan hal itu.

"Kak Dev?!" Panggil Lea pada tubuhnya yang sudah tergeletak lemah di tanah itu.

"Jadi Om Jerry mau bakar Kak Dev?!"

Jangan lupa votemen 🌟
Aku besok libur dulu ya😊 tunggu nextnya lusa😉

Salam
Rega♥️

230520

Bad Twins (Selesai)Where stories live. Discover now