END : Bait Terakhir

3.1K 393 289
                                    

Hari yang sama, langit yang sama, Jogja yang sama, jalanan yang sama, secangkir kopi yang sama. Namun keseharian yang selalu sama ini, akan segera berakhir. Karena kami semua telah lulus dan akan mengejar mimpi kami masing-masing.

Apa yang akan tertinggal selain kenangan? Setidaknya bagi kami, kehidupan sehari-hari yang kami kira tidak akan pernah berakhir, kini di tutup oleh titik yang besar.

.

.

.

"Udah dibungkus semua?" ucap Dirga yang sedang membereskan peralatan kopi.

"Udah nih, tinggal nunggu jasa ekspedisi dateng aja," balas Andis.

"Capek juga ya." Ajay mengusap keningnya yang berkeringat.

Tama seperti biasa, ia masih sibuk mengelap gelas kaca dengan sapu tangan miliknya.

"Tam itu gelasnya ga di beresin?" tanya Andis sambil berjalan ke arah Tama yang sedang duduk membelakangainya.

"Udah gapapa," jawab Dirga sambil menarik Andis.

Gelas kaca yang selalu basah diisi oleh hangatnya kopi, sekarang tidak sebasah sepasang bola mata yang berkaca-kaca itu. Mata itu basah diisi oleh hangatnya setiap kenangan dari sudut-sudut mantra coffee dan juga kota Jogja. Di setiap pertemuan, pastilah ada perpisahan, tidak ada perpisahan yang tidak meninggalkan luka.

Tidak terasa empat tahun yang mereka habiskan untuk menuntut ilmu dan membangun istana kopi itu. Semua kebahagiaan yang tercipta dari secangkir kopi, menjadi memori terindah bagi mereka berempat.

"Tama udah dikontrak salah satu studio game developer di Jakarta, Andis mau kerja di stasiun TV sambil ngembangin podcast radio, Ajay mau lanjut S2 di inggris" ucap Dirga.

"Kita semua punya jalan masing-masing," sambungnya lagi sambil tersenyum.

"Mumpung ini hari terakhir, kalo ada yang mau pamitan sama temen-temen di kampus, monggo, udah kelar beberesnya ini," ucap Dirga lagi.

Andis mengambil helm dan pergi entah kemana, Tama menuju kamar mandi dan mencuci muka, kemudian ia mengambil helm dan pergi entah kemana juga.

"Lu ga kemana-mana Dir?" tanya Ajay.

"Gua yang jagain sini aja, Jay."

"Yaelah kan bisa dikunci."

"Lagi juga, orang yang gua suka, udah pamit duluan," ucap Dirga dengan senyum palsunya.

"Di saat kaya gini, orang macem gua yang paling ga diuntungin," ucap Ajay.

"Kenapa emang lu?" tanya Dirga.

Ajay diam beberapa saat, matanya mulai berkaca-kaca.

"Karena gua bisa ngerasain semua perasaan orang lain di sekitar gua, dan ga ada satupun dari kalian yang kapalnya ga diterpa badai ...," ucapnya lirih.

"Cepat atau lambat semua pasti terjadi kok ... ini cuma sebagian langkah kecil bagi kita semua, untuk meraih masa depan yang selalu kita bicarakan bersama sambil menikmati secangkir kopi," ucap Dirga sambil menepuk punggung Ajay.

Sementara itu Andis berhenti di sebuah toko bunga yang berada di selokan mataram.

"Bu beli ini ya." Andis membeli beberapa tangkai bunga melati.

"Mas nya bau bunga melati deh."

"Emang parfumnya begini, Bu hahaha"

"Bau melati kan identik sama kuntil anak, ga serem po, Mas?"

"Enggak, Bu ... sama sekali," ucapnya sambil tersenyum.

Selesai membeli melati, Andis langsung tancap gas menuju kampusnya. Sesampainya di kampus, ia parkir dan berjalan menuju kursi panjang yang berada di dekat parkiran.

Mantra Coffee ClassicWhere stories live. Discover now