97 : Permainan Menunggu

1.3K 256 25
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Pagi ini adalah opening pameran seni dari program studi animasi dan game design. Di dalam pameran ini ada banyak karya-karya seni, baik gambar dua dimensi, gambar nirmana, karya tiga dimensi, film animasi, patung yang terbuat dari clay, pameran game tradisional hingga game modern, semua tersaji di sini. Andis dan Sarah baru saja tiba di kampus dan segera menuju lobby pameran. Setelah mengisi daftar tamu, mereka langsung masuk untuk melihat-lihat.

"Wah, keren," ucap Sarah sambil menatap sebuah lukisan. Ia berjalan di stan lukisan dan mengamati semua karya itu tanpa ada yang terlewat. Hingga langkahnya terhenti pada satu gambar yang sangat besar, gambar itu terbuat dari cat air yang dilukis di atas kanvas. Melihat itu, Andis segera mendekatinya.

"Lihat apa?" tanya Andis.

"Ini--" Sarah menyentuh kanvas itu sambil menoleh ke arah Andis.

"Kamu, kan?

Kanvas dengan cat air itu berisi gambar seorang pria dengan jaket parasut hijau lengkap dengan topi beanie coklatnya, pria itu duduk di sebuah kursi panjang berwarna putih, dan ada pohon besar di belakang pria itu. Di atas ranting pohon ada seorang wanita bergaun putih yang sedang duduk dan menatap si pria, mereka terlihat seperti sedang berbincang.

Andis mendekat ke gambar itu dan menyentuh kanvasnya, tepat di bagian wanita bergaun putih. Tanpa sadar matanya mulai berkaca-kaca, dadanya menahan sesak akibat disetubuhi rindu. Andis menatap nama mahasiswi yang menggambar karya ini, Gia Pranindya.

Gia Pranindya?

Andis tak asing dengan nama itu. Ya, sebelumnya ia memang pernah bertemu di dekat parkiran. Gia merupakan teman Kiran yang menempelkan plester ketika wajah Andis terluka.

"Kamu kenal?" tanya Sarah.

"Iya, kenal."

"Fans, kamu?"

"Bukan, mana mungkin," jawab Andis.

Setelah mereka puas dengan lukisan, Andis dan Sarah sekarang berjalan menuju lecture room yang digunakan sebagai media untuk menonton film animasi. Mereka menonton beberapa film karya mahasiswa dan mahasiswi di kampus Andis.

"Gokil, keren-keren sih, seneng bisa ke sini, ga nyesel," ucap Sarah sambil tersenyum.

"Syukur deh kalo kamu suka," balas Andis dengan senyum tipis.

Andis mulai membangun suasana romantisme dengan menyentuh punggung tangan Sarah perlahan. Tak ada reaksi apapun dari Sarah, ia hanya diam sambil menonton film animasi hingga semua film selesai diputar.

"Sar--" panggil Andis.

"Makan yuk, laper," potong Sarah sambil melepaskan genggaman tangan Andis dan beranjak dari duduknya.

Andis paham benar arti sorot mata Sarah, sorot mata yang menghindari tatapannya. Sepertinya keputusannya untuk membangun suasana romantisme tak berjalan baik, dan malah menimbulkan suasana yang akward di antara mereka berdua.

"Mau makan apa?" tanya Andis.

"Terserah."

Ah ... kelar udah, kata-kata angker itu udah keluar, batin Andis.

Andis dan Sarah duduk di pendopo, mereka memesan mie ayam favorit Andis. Mie ayam legend yang kelezatannya sudah tak diragukan lagi. Semua penghuni kampus pasti pernah memakan mie ayam itu. Andis berharap bahwa Sarah akan lupa dengan kejadian tadi setelah memakan mie ayam itu.

Mantra Coffee ClassicWhere stories live. Discover now