17 : Hujan di Ruang Hampa

2.4K 499 23
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Semua rombongan yang menjenguk Tama mulai pulang satu per satu.

"Jay, gua balik dulu ya, nanti malem gua kesini lagi, tukeran shift nungguin si Tama" ucap Dirga.

Tama mendapat rekomendasi dari dokter untuk rawat inap di rumah sakit selama 1 malam, dan keesokan harinya sudah bisa rawat jalan di rumah.

"Oke oce" jawab Ajay.

Dirga dan Andis segera tancap gas dari rumah sakit.

"Aqilla belum pulang?" tanya Ajay.

"Kunci motorku kok ga ada ya" sambil merogoh-rogoh kantong jaket dan celananya.

"Kok ga bareng naik mobil Jordan?" tanya Ajay.

"Biar langsung pulang aja jadi bawa motor" Aqilla masih mencari kunci motornya di dalam tas.

"Ketinggalan di kamar pasien kayaknya" ucap Ajay.

Aqilla mencoba berjalan kembali menelusuri jalan yang ia lewati tadi, hingga sampai di kamar Tama di rawat.

Diam-diam Ajay mengikuti Aqilla menuju ruangan Tama. Aqilla masuk kedalam ruangan, Ajay mengikutinya sampai di depan pintu dan berdiam diri di depan pintu.

Aqilla berjalan menuju Tama, pria itu sedang duduk menatap keluar jendela.

"Tamaaaa" sapa gadis itu.

Tama hanya diam melamun menghiraukan Aqilla.

"Liat kunci motor aku ga?"

Tama menoleh dan menggeleng.

"Seriusan ga liat?" tanya Qilla sambil mencari kunci itu.

Namun Tama malah menoleh ke arah jendela lagi.

"Ih aku di kacangin" ucap Qilla.

"Ako nonton loh pertandingan tadi, seru paraaah"

Namun Tama masih menghiraukan Aqilla dan terus melamun.

"Kamu jago banget tau" puji Aqilla.

"Bisa ngimbangin Jordan" ucap gadis itu pada Tama.

Tama menoleh ke arah Aqilla sambil menunduk, wajahnya tak berani menatap mata Aqilla.

"Kamu kenapa?" sambil memegang pipi Tama.

Tama menepak tangan mungil itu dari wajahnya, seakan berkata "jangan sentuh aku"

Aqilla kaget dengan apa yang di lakukan Tama.

"Tama gapapa? kan masih bisa menang kalo ada lomba basket lagi" ucap Qilla yang mengira bahwa Tama frustasi karena kalah.

"Aku yang benci kalah ini, hari ini mendapat dua kekalahan beruntun" gumam Tama dalam hati.

"Kakak tingkat yang namanya Jordan itu, siapa?" tanya Tama.

"Oh Jordan itu kaka tingkat, dia kapten tim basket Saraswati ISI" jawab Aqilla.

"Bukan itu--"

"Terus apa?" tanya Aqilla.

"Jordan itu siapanya Aqilla?" tanya Tama yang masih menunduk.

Aqilla hanya diam tak menjawab.

"Kamu nyuruh aku yang selalu diem ini buat ngomong, tapi sekarang kamu yang diem" timpal Tama lagi.

"Tama maaf" ucap Qilla sambil menundukkan wajahnya.

Di penghujung semester ini, sudah hampir 6 bulan mereka bersama, keberadaan Aqilla membuat sebuah robot yang dingin itu menjadi manusia yang penuh kehangatan. Berawal dari sebuah pick gitar yang tertinggal di sebuah kafe, seorang barista mengembalikan pick gitar itu jauh dari kafenya, bahkan ia masih mengenakan apron dan naik ke atas panggung untuk sekedar mengembalikan pick gitar. Disitulah awal mula dilema seorang Aqila Maharani yang awalnya hanya merasa berterimakasih pada seorang Retsa Pratama, hingga membuat mereka dekat dan tumbuh suatu perasaan di antara mereka.

"Jordan itu pacarku" jawab Qilla tak berani menatap mata pria lugu bernama Tama itu.

Tama sangat terpukul mendengar semua ketakutannya yang awalnya hanya ada dalam pikirannya saat bermain basket tadi, kini berubah menjadi sebuah realita yang menggores luka.

"Kenapa ga bilang?" sambil matanya berkaca-kaca melihat Aqilla.

Aqilla merasa bersalah atas perasaannya. Ia tidak bisa berbicara, bibirnya menahan agar ia tidak menangis, ia tak mau menangis di depan pria yang baru saja ia lukai itu. Tama masih memandang wajah itu dengan mata berkaca-kaca.

"Kan aku bisa ngalah" ucap Tama.

"Meskipun aku benci banget kalah." ucap pria lugu itu dengan mata berkaca-kaca.

"Cuma kamu wanita yang bikin aku mau belajar buat mengalah" ucap pria itu sambil menutup kedua mata Aqilla dengan kedua tangannya.

Aqilla memegang tangan yang telah menutup matanya itu. Ia mencoba melepaskan tangan yang menutup kedua matanya. Tama menahan tangannya agar terjaga menutup sepasang bola mata itu.

"Tama lepasin" ucap Aqilla sambil berusaha melepaskan tangan Tama yang menutupin pandangannya.

Tanpa sepengatahuan mereka berdua, sepasang bola mata sedang mengawasi mereka berdua.

"Itu ekspresi wajah yang bagus" ucap orang yang sedang menyaksikan Tama dan Aqilla.

"Jangan terburu-buru"

"Lepaskan sedikit demi sedikit"

Aqilla berhasil membuka tangan pria yang menutup matanya itu. Wajah pria itu di penuhi air mata yang deras mengalir melewati pipi-pipinya hingga menetes ke kasur rumah sakit.

"Jangan liat aku" ucap Tama sambil terisak-isak.

"Itu yang kita sebut dengan kesedihan"

Aqilla yang melihat pria lugu itu menangis, justru ikut meneteskan air mata. Ia tak tau apa yang harus ia perbuat. Perasaan bersalah karena menyakiti seorang pria yang pertama kalinya merasakan jatuh cinta.

"Jangan ikutan nangis, aku ga bisa menghibur kamu sekarang" ucap pria lugu itu yang selalu menepis rasa takut saat gadis itu merasa takut, yang selalu keluar dari sifat aslinya hanya untuk sekedar mengukir senyuman di wajah gadis itu, yang selalu memberikan segelas milkshake vanilla di saat gadis itu frustasi karena lirik yang ia tulis, yang selalu memotret gadis itu secara diam-diam, yang selalu berbicara tak seperti saat bersama orang lain. Kini pria itu sedang menangis di hadapan gadis yang selalu membuatnya terlihat seperti manusia, bukan robot.

"Tama jangan nangis" ucap Qilla yang mencoba menghapus air mata Tama.

Namun Tama mengelak dari tangan lembut itu. Ia merasa bahwa sekarang tangan lembut itu hanya akan menambah volume air mengalir dari bola matanya. 

"Aku butuh waktu sendiri" ucap Tama lirih.

Aqilla dengan mata yang masih sembab dan pipi yang masih basah pergi meninggalkan Tama seorang diri dalam ruang hampa yang di banjiri oleh hujan.

***

Ketika Aqilla keluar dari pintu, Ajay sedang bersandar di dinding sebelah pintu kamar Tama di rawat. Aqilla berhenti sejenak, Ajay merogoh kantong kemejanya dan mengambil sebuah kunci motor. Kemudian Aqilla mengambil kunci itu dengan sangat cepat, lalu ia berjalan kembali menuju vespa kuningnya.

.

.

.

Hujan yang kuharap tak pernah datang, kini kian menderas. Aku berharap bisa sekali lagi mendengar alunan nada dan melodi seperti yang biasa kau bawakan, bukan gelagar petir yang menyambar. Namun kini kau berjalan bersamanya, membawa pergi musim semiku.

Mantra Coffee ClassicWhere stories live. Discover now