Chapter 22

8.8K 1.4K 122
                                    

***

"Ya Tuhan...!"

Lea menutup mulutnya dengan tak percaya.

Henry, yang menerima tatapan mencekik Duke, memalingkan wajahnya. Dia dengan keras menggigit bibirnya.

"Aku benci pembohong. Terlebih lagi jika itu adalah anakku."

"......."

"Katakan padaku."

"......."

"Henry!"

"Jangwan!" (Jangan)

Suara Duke yang keras menjadi semakin keras, sampai aku berteriak dan menyelinap di antara mereka. Aku berlari ke lengan Duke, menutup mataku dengan erat dan menggantung di lengannya.

"Henli takwut. Dia takwut padamu." (Henry takut. Dia takut padamu.)

'Aku juga takut.'

'Aku pasti gila. Tanpa berpikir, menggantung pada Duke, yang sedang mode marah.'

Merangkak kedalam mulut singa malah tidak semenakutkan dibandingkan amarah Duke. Seluruh tubuhku gemetar ketakutan. Genggaman Duke perlahan-lahan melonggar. Henry, yang dibebaskan oleh Duke, mengertakkan gigi dan berlari keluar ruangan. Aku mengekor di belakangnya.

Meskipun aku berhasil meraih tangannya, Henry melepaskannya begitu genggaman itu menyentuhnya.

'Agh!'

Aku hampir jatuh karena tindakannya yang tiba-tiba. Aku kembali bergegas dan berjalan di samping Henry.

"Henli tidwak apa-apa untuk takwut." (Henry tidak apa-apa untuk takut)

"....."

"Aku takwut bendwa tajam. Aku takut pada katak. Tidwak buruk memiliki sesuatu yang kamu takutwi." (Aku takut benda tajam. Aku takut pada katak. Tidak buruk memiliki sesuatu yang kamu takuti.)

"...."

"Aku akwan melindungimu. Ayho pergi ke Dyuke." (Aku akan melindungimu. Ayo pergi ke Duke)

"Siapa yang meminta bantuanmu!"

Teriakan Henry bergema di koridor yang gelap. Aku tercengang dan tanganku yang terulur ditarik olehnya. Henry mengertakkan gigi dan memelototiku.

"....."

"Apakah kamu masih berfantasi kami adalah keluarga bahagia?"

"....."

"Apa kau benar-benar berpikir bahwa kau menjadi saudaraku hanya karena kamu ada dalam daftar keluarga? Jangan buat aku tertawa. Tidak ada orang yang benar-benar menganggap anak yatim tanpa setetes darah kami sebagai keluarga."

Henry mengeluarkan ucapan menyakitkan itu dan mencibir.

"Jangan mengacau dan jangan mencampuri urusanku." Di akhir peringatan, dia berbalik.

'Keras kepala,' pikirku.

Aku berdiri di tempat yang sama dan memandangi sosoknya yang mulai menghilang.

***

Ketika aku kembali ke sisi duke, aku mengatakan yang sebenarnya kepada mereka tanpa melewatkan satupun, kecuali bagian di mana aku membuat jebakan untuk Teramore.

"Ketwika aku pergi ke ruang belajar, aku melwihat Henli dan kakwek Teramor. Kakek memukulinya, aku takut." (Ketika aku pergi ke ruang belajar, aku melihat Henry dan Kakek Teramore. Kakek memukulinya, aku takut.)

TBRADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang