19

263 34 5
                                    

"Tadi itu baru bangun, ya?"

Rachel menunduk mendengar pertanyaan itu. Dia ingat kejadian tadi pagi saat mendapati video call dari Billy. "Tadi gue kesiangan, Kak. Wajah gue jelek banget, ya?"

Billy terkekeh, ingat dengan wajah polos dengan rambut acak-acakan Rachel. "Cantik. Gue bisa jadi lihat wajah natural lo. Gemesin."

Pipi Rachel memerah. Dia mengalihkan pandang karena masih malu.

"Oh ya, lo semalem ke mana?" Billy memperhatikan lawan bicaranya dengan saksama.

Rachel kembali menatap Billy, terlihat menimbang-nimbang. "Ke kelab."

"Kelab?" Nada Billy sedikit meninggi.

"Hmm...." Rachel menunduk takut. "Kenapa memang, Kak?"

Billy menatap Rachel tak percaya. "Lo sering ke tempat itu?"

Buru-buru Rachel menggeleng, merasa Billy terlalu membayangkan lebih. "Cuma pengen seru-seruan doang. Minum dikit dan nggak ngapa-ngapain."

Billy tersenyum lega, senang karena Rachel tidak berbuat macam-macam. "Sama siapa?"

Rachel mengusap poni, bingung harus menjawab apa. Entah kenapa saat kepikiran kelab dia langsung ingat Brizan. Selain itu dia butuh teman yang bisa menghiburnya dan pilihannya jatuh ke lelaki itu. "Sama Brizan."

"Sama Brizan nggak dikenalin yang aneh-aneh, Kan?" selidik Billy, tahu adiknya itu super jail.

Rachel menggeleng tegas. "Justru dia yang lindungin gue, Kak."

"Kok tumben?" Billy memperhatikan wajah Rachel saksama. Menurutnya Brizan cukup aneh karena melindungi Rachel. Biasanya adiknya itu selalu memperkenalkan aneka minuman ke semua orang tanpa terkecuali.

"Kok kayak nggak percaya gitu sih, Kak?"

"Ya aneh aja. Brizan sering ke sana dan nggak segan-segan ngenalin apapun ke teman kencannya."

Mendengar itu Rachel mengernyit. "Ah tapi nggak tahulah, Kak. Brizan, kan, aneh."

"Hahaha. Benar, Brizan emang aneh." Billy menegak orange juice di depannya. Dia lalu mengedarkan pandang. "Lo nyaman, kan, gue ajak ke sini?"

Lamunan Rachel terhenti. "Tadi ngomong apa, Kak?"

"Nyaman nggak? Kan, gue ajak ke restoran."

Perlahan senyum Rachel terbit. Dia menggeleng, merasa nyaman-nyaman saja. Mungkin dia mulai terbiasa dengan tempat makan yang selalu dipilihkan Billy. "Nggak masalah."

Tangan Billy terulur menggapai tangan Rachel di atas meja. Kemudian, ibu jarinya mengusap punggung tangan itu. "Gue mau bahas yang kemarin."

Tubuh Rachel mendadak kaku. Sejak tadi dia berusaha menghindari topik semalam. Saat Billy menjemput saja dia sempat canggung. Sekarang di saat sudah nyaman, lelaki itu kembali membalas. "Gue nggak mau bahas, Kak. Masih kesel ke Bang Raka."

Dari pandangan Billy terlihat jelas wajah sebal Rachel. Refleks dia semakin mengeratkan genggaman. "Gue udah jelasin ke Raka, biar nggak terlalu takut sama kedekatan kita."

Rachel melongo, lalu buru-buru menutup mulut. "Terus Bang Raka bilang apa?"

"Dia kayaknya mulai ngerti. Gue yakin dia nggak bakal ngelarang lo deket gue lagi."

"Yang benar?" Satu tangan Rachel yang bebas mengurut kening. Dia bingung kenapa Raka yang pemaksa dan keras kepala itu bisa menuruti Billy. Kemudian Rachel tersenyum, yang terpenting Raka tidak lagi melarangnya.

"Jadi, sekarang nggak usah ketakutan. Abang lo nggak akan ngelarang," jelas Billy.

Rachel mengangguk dengan senyum lega. "Makasih, Kak. Ternyata mau juga perjuangin gue," ucapnya malu-malu.

The ConquerorWhere stories live. Discover now