31

221 33 1
                                    

"Hemp!" Rachel terus memukul tangan besar yang membekap mulutnya. Dia berusaha meminta tolong dengan menggapai tangan ke beberapa orang yang dilewati, tapi tidak ada satupun yang menolong.

Menyerah, Rachel tidak lagi memberontak.

Tak lama seseorang yang menyeret Rachel menghentikan langkah. Dia menyentak lengan kekar itu lantas berbalik. Matanya mengerjab, tersentak melihat wajah tampan Brizan. Dia menegakkan tubuh sambil merapikan anak rambut yang menutupi kening. "Lo ngapain sih, Bri tiba-tiba narik?"

Brizan tersenyum melihat ekspresi sebal Rachel. Bukannya menjawab, dia justru menarik Rachel agar masuk mobil.

Rachel yang diperlakukan seperti itu memberenggut kesal. "Bri! Lo ngapain sih?"

"Lo inget sama janji lo?" Sambil mengemudi Brizan melirik gadis di sampingnya sekilas. Dia merogoh ponsel, membuka sebuah aplikasi dan menyodorkan ke Rachel.

"Tiket ke Bali?" tanya Rachel menatap Brizan tak percaya.

"Yups. Lo hutang janji. Sekarang gue tagih." Brizan tersenyum kecil.

Rachel menyandarkan tubuh lalu kepalanya bersandar di kaca mobil. Dalam hati, ada pergulatan hebat. Andai perasaan itu tidak hadir mungkin Rachel akan tenang diajak Brizan jalan-jalan. "Meda nggak diajak?" tanyanya pelan, tapi mampu didengar Brizan.

Lelaki berkaus biru dongker itu mencengkeram kemudi. "Bisa jangan bahas Meda?"

"Gue nggak mau dia sakit hati." Rachel menjawab dengan lelah. Apakah Brizan bisa bertindak sesuka hatinya tanpa memedulikan orang lain? Sebodoh-bodohnya Rachel, dia tidak pernah bisa melakukan itu.

"Tapi, cara lo juga bikin gue sakit hati, Hel!" Brizan langsung mengungkapkan apa yang selama ini dirasakan. Rachel lebih sering mengutamakan Meda atau Birzy. Sedangkan Brizan tidak dipedulikan. Dia yakin, Rachel juga tidak memedulikan diri sendiri.

Rachel menegakkan tubuh lalu menatap Brizan bingung. Dia merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Entah kenapa, dia mengharapkan Brizan berbicara sesuatu.

Sedetik kemudian, Rachel menggeleng. Tidak ingin berpikiran lebih kemudian menjadi kenyataan. Dia tidak mau hal itu.

"Udah lupain aja!" jawab Brizan memilih tidak mengungkapkan perasaannya.

Jawaban itu membuat napas Rachel tercekat. Dia kembali menyandarkan tubuh, kepalanya mendadak pening. "Sehari aja, ya, di Bali."

Brizan menggeleng, merasa satu hari bukan waktu yang cukup, terlebih jika bersama Rachel. "Gue yang mutusin kapan kita balik."

Sisa perjalanan ke bandara tidak ada percakapan. Sejak semalam Brizan terus memikirkan perasaannya. Dia ingin jujur ke Rachel, tapi terhalang oleh Billy. Brizan tidak akan setega itu menusuk kakaknya dari belakang. Karena itu Brizan ingin mengajak Rachel jalan berdua. "Mungkin ini akan jadi perjalanan terakhir kita, Hel."

Tubuh Rachel membeku, merasa akan ada hal buruk yang akan terjadi. Dia menoleh memperhatikan Brizan yang mengeraskan rahang. "Lo ngomong apa, sih? Semua akan baik-baik aja."

Brizan menggeleng lalu satu tangannya terangkat mengusap puncak kepala Rachel. "Gue minta, selama liburan jangan komunikasi sama Kak Billy, gue juga nggak akan komunikasi sama Meda," pintanya. "Cuma lo dan gue."

Rachel masih tidak mengerti dengan ucapan aneh Brizan. Dia ingin mengajukan pertanyaan, tapi tidak kuasa saat melihat Brizan mengeraskan rahang.

***

Rachel keluar kamar hotel sambil celangak-celinguk. Dia tidak tahu keberadaan Brizan sekarang. Tadi sampai di hotel mereka berpisah di lobi, Brizan memilih ke kafe sedangkan Rachel langsung ke kamar.

The ConquerorWhere stories live. Discover now