54

189 18 0
                                    

"Hel... Bisa bicara sebentar?"

Rachel terdiam mendapati Billy berada tidak jauh dari tempatnya. Dia berbalik mencari jalan lain kemudian mendekati meja kasir. "Saya pesan nasi goreng dua. Cepet, ya!"

Billy memperhatikan Rachel yang terlihat menghindar. Dia seketika mendekat dan menarik tangan gadis itu. "Izinin gue bicara bentar."

"Kak! Gue males!" Rachel menarik tangannya. Dia menatap ke arah papan menu dan pura-pura membacanya.

"Please. Lima menit. Setelah itu gue janji bakal pergi." Billy menatap Rachel penuh permohonan. Sebenarnya saat menelepon Brizan, dia sudah berada di kafe bawah. Tidak disangka Rachel keluar, baginya ini kesempatan untuk menyelesaikan masalah.

Rachel menatap Billy yang terlihat memohon. Dia mengembuskan napas lantas berbalik. Dia berjalan menjauh dan mencari tempat yang sedikit sepi. "Mau ngomong apa?" tanyanya setelah Billy duduk di hadapannya.

Billy menatap Rachel yang terlihat tidak bersemangat. Matanya memerah dan berkantung. Wajah Rachel juga sedikit mengkilat. Dia yakin itu disebabkan karena Rachel sering menangis. "Gue minta maaf."

"Selain itu?" Rachel membuang muka. Tenggorokannya terasa tercekat saat kembali mengingat kejadian semalam.

"Papamu yang minta buat nggak ngasih tahu. Bukan berarti gue nggak mau ngakuin kesalahan, tapi kenyataannya gitu." Billy mengucapkan itu dengan pelan. "Gue sempet bujuk Om Rifat biar cepet ngasih tahu lo, tapi Om Rifat butuh waktu."

Rachel menatap Billy, mencari kebohongan. "Terus?"

"Awal gue tahu lo, karena Om Rifat sering cerita tentang. Dia ngasih tahu foto-foto lo yang diambil diam-diam. Om Rifat selalu bangga waktu cerita lo sama Raka. Sampai akhirnya, kita ketemu dan jadi deket."

"Jadi, waktu gue deketin, lo udah tahu semuanya, Kak?" tanya Rachel penuh selidik.

"Ya...." Billy mengangguk pelan. "Rasanya tersiksa, Hel. Selalu ada perasaan bersalah tiap gue ketemu sama lo."

"Tapi, kenapa nggak langsung ngomong?" tuntut Rachel. Dia menunduk, menghapus air matanya yang mulai keluar.

Billy tidak tega melihat Rachel yang menangis. Dia mendekat dan memeluk gadis itu, tapi dia tidak ada hak. "Gue bener-bener minta maaf."

Rachel menarik napas panjang untuk menghilangkan rasa sesaknya. "Terus, ada rahasia lagi? Gue bener-bener harus tahu semuanya."

Wajah Billy terlihat kaget. Dia duduk dengan tubuh menegang lalu membuang muka. "Gue yang kirim dokumen ke apartemen lo."

"Dokumen?" Nada suara Rachel meninggi. "Lo yang ngirim? Disuruh papa?"

"Iya. Sorry, baru ngasih tahu sekarang."

Rachel geleng-geleng, tidak percaya Billy yang melakukan itu. "Kakak kok nurut banget disuruh sama papa? Kenapa?"

"Enggak tahu...." Billy mengangkat bahu pelan. "Awal ketemu Om Rifat, waktu itu dia hampir jatuh terus gue tolongin. Setelah itu Om Rifat main ke kantor. Saat itulah gue tahu kondisi Om Rifat. Gue deket sama Om Rifat karena kasihan dan selalu inget papa gue."

"Terus?"

"Ya, sampai akhirnya hubungan kami jadi deket." Billy mengucapkan itu dengan suara pelan. "Waktu kita deket Om Rifat juga tahu."

Rachel menyentuh kening. "Oke, kalau kayak gitu kenyataannya."

"Lo bisa maafin gue?" tanya Billy penuh harap. Dia tidak ingin hubungannya dengan Rachel semakin merenggang. Sudah cukup karena masalah percintaan waktu itu. Dia tidak ingin ada masalah lain.

The ConquerorDonde viven las historias. Descúbrelo ahora