47

187 22 0
                                    

Gadis yang menyisingkan kaus lengannya itu terlihat makan dengan lahap. Dia mengambil udang berukuran besar dan menggigitnya, padahal di mulutnya masih penuh dengan makanan. Setelah itu dia mengunyah dengan mulut penuh. Namun, beberapa detik kemudian dia mengambil onion ring dan melahapnya.

"Pelan-pelan, kali." Brizan memperhatikan pacarnya yang seperti orang kelaparan itu.

Rachel mengangkat wajah. Dia tersenyum garing lantas melanjutkan kegiatan makanannya. Dia tidak merasa jaim di depan Brizan. Rasanya dia tidak bisa menjadi sosok lain agar terlihat bagus. Dia tidak ingin seperti saat mendekati Billy.

"Tadi nggak sarapan dulu di rumah?" tanya Brizan.

"Enggak."

"Mama belum masak?" Brizan menatap Rachel penuh selidik. Dia mengambil udang yang tersisa satu, tapi direbut oleh Rachel. Brizan geleng-geleng dan berganti mengambil cumi goreng tepung.

Rachel tidak langsung menjawab. Dia tetap menyantap makanannya. Setelah itu menegak air mineral hingga tandas. "Gue yang nggak mau sarapan. Pengen buru-buru balik."

"Kenapa? Nggak pamit lagi." Brizan kembali ingat dengan rasa sebalnya. "Harusnya sekarang ngambek."

"Apaan, sih, ngambek-ngambekan? Udah tua!" Rachel beranjak. Dia mencuci tangannya lalu membuang sisa makanan. "Habisin, ya!"

Brizan melihat beberapa potong cumi dan dua buah onion ring, sisanya dihabiskan oleh Rachel. Dia menghabiskan sisanya lantas bergabung dengan Rachel di ruang tengah. "Jadi, kenapa buru-buru pulang?"

Rachel melirik sekilas. Dia menyalakan televisi dan mencari chanel yang menarik perhatiannya. "Nggak enak, Bri pakai pakaian yang sama. Gue juga ngantuk banget. Ya udah, pulang aja."

"Kan, bisa tidur lagi di kamar tamu."

Satu alis Rachel tertarik ke atas. Dia duduk menyerong menatap Brizan lalu menunjuknya. "Apa kata Tante Anne kalau gue bangun siang? Nggak sopan."

"Mama nggak akan marah." Brizan duduk bersandar dengan tangan berada di kepala sofa. Setelah itu dia menarik Rachel mendekat.

"Emang Tante Anne nggak marah, tapi gue malu sendiri." Rachel bersandar di kepala Brizan. Kedua kakinya berselonjor ke atas meja. Kemudian dia mencari posisi nyaman dan menarik tangan Brizan untuk dipeluk. "Tiba-tiba ngantuk."

"Jangan tidur!" pinta Brizan sambil menepuk tangan Rachel. "Kalau tidur aku sendirian, Hel. Mana mau aku jaga orang tidur."

Rachel tidak memedulikan itu. Dia bergerak dan memeluk perut Brizan. "Gue beneran ngantuk, Bri. Semalem bener-bener nggak bisa tidur."

"Huh...." Brizan mengembuskan napas. Dia tidak bisa memaksa Rachel jika seperti ini. Dia mengusap puncak kepala gadis itu. "Ya udah, setelah tidur aku balik, ya."

"Hmm...." Rachel memejamkan mata. Di saat tenang seperti ini, dia ingat pertemuan dengan papanya beberapa jam yang lalu. Dia masih belum mendapat jawaban pasti mengapa papanya tiba-tiba mengirim surat. "Bri...."

Brizan menunduk, mendapati Rachel yang tengah memejamkan mata. "Kamu nggak ngigau, kan?"

Rachel terdiam, masih membayangkan wajah papanya yang terlihat sehat. Namun, beberapa penyakit memang tidak membuat si penderita selalu terlihat pucat. Entalah, pemikiran itu membuat Rachel kembali ketakutan.

"Sayang...." Brizan menarik dagu Rachel, memastikannya belum terlelap.

"Apa?" Rachel membuka mata dan mendapati senyum manis Brizan. Dia menepuk pipi lelaki itu kemudian kembali memejamkan mata. "Kalau tiba-tiba dikasih harta sama orangtua lo, apa yang bakal lo lakuin?"

The ConquerorWhere stories live. Discover now