38

198 26 3
                                    

"Tapi, lebih sakit lagi kehilangan sahabat," lanjut Meda. "Gue mundur. Lo sama Brizan aja. Gue nggak apa-apa."

Kelanjutan kalimat Meda membuat Rachel tidak bisa berkata-kata. "Enggak, Med. Lo berhak bahagia." Rachel mengalihkan pandang. "Lo udah terlalu lama hidup sendiri. Sekarang kejar kebahagiaan lo. Sama Brizan."

Meda diam mendengarkan, kesadarannya yang tinggal sedikit semakin menipis. Dia mengangkat wajah dan mengangguk. "Semoga lo bahagia juga, Hel." Setelah itu dia terlelap.

Air mata Rachel turun begitu cepat. Andai dia sedang tidak berhadapan dengan sahabatnya, tentu akan senang mendengar kalimat tadi. Tentu dia akan langsung menemui Brizan dan menjalin hubungan dengannya. Sayangnya, tidak seperti itu.

Gue harus ngelakuin sesuatu. Rachel menghapus air matanya lantas menggapai ponsel. Dia melakukan sambungan ke lelaki yang selalu menjadi tempat curhatnya.

"Ada sesuatu?" Wajah Raka muncul di layar.

Air mata Rachel masih turun membasahi pipi. Dia berjalan keluar dan duduk di pojokan balkon lalu menangis. "Meda, Bang."

"Meda kenapa?"

"Ngerelain Brizan buat gue." Rachel terlihat kesulitan bernapas.

Raka terlihat kaget, tidak lama tersenyum kecil. "Ya bagus dong. Lo bisa sama Bang Brizan, cowok yang lo cintai," ujarnya. "Meski gue belum kasih restu."

Rachel menggeleng tegas. "Gue semakin ngerasa bersalah."

"Bersalah gimana?" Kini wajah Birzy muncul, membuat Rachel segera menghapus air matanya.

Rachel memaksakan senyuman seolah tidak terjadi sesuatu. Sayangnya, air mata itu dengan nakal turun. "Enggak, Kak Bir."

"Lo bisa cerita ke kita. Jangan pendem sendiri." Birzy membujuk.

"Aaaa...." Mendengar ucapan Birzy, tangis Rachel kembali pecah. Dia duduk dengan lengan yang mulai mendiring terkena angin malam. Namun, dia tidak memedulikan itu. "Gue harus gimana, Kak Bir?"

Dua orang di sana saling pandang, bingung harus menyelesaikan masalah yang cukup rumit itu. Raka lalu merebut ponsel dan memandang wajah sendu adiknya. "Kalau emang nggak bisa ngelepasin Kak Brizan jangan lo paksa," kata Raka lembut. "Semakin paksa hati lo, hati Brizan dan hati Meda semakin sakit."

Rachel mengangguk. "Tapi, kalau gue sama Brizan gimana Kak Billy sama Meda?"

Birzy merebut ponsel. Dia tersenyum guna menghibur Rachel yang sudah dianggap sebagai adiknya itu. "Gue seneng denger ini. Rachel yang dulunya mau menang sendiri, mulai mikirin perasaan orang lain."

Senyum Rachel sedikit terbit. Dia tidak sadar jika dalam masalah ini mencoba tidak egois. Terlepas dari kejadian di Bali yang main di belakang, itu sangat membuat Rachel merasa bersalah ke Meda dan Billy.

"Kak Billy sama Meda sama-sama dewasa, Hel. Mereka tentu nggak bisa maksa kehendak. Mereka juga udah bisa nentuin kebahagiaan mereka sendiri," jelas Birzy.

"Jadi, mending gue sama Brizan?" tanya Rachel butuh dukungan.

"Tanya sama hati lo. Itu yang terbaik." Raka menjawab.

Rachel mengangguk. "Ya udah, makasih udah denger cerita gue." Setelah mengucapkan itu Rachel duduk merenung. Jika, dia memilih melepas Brizan, hatinya terus merasakan sakit. Jika, dia memilih memperjuangkan Brizan hati orang lain akan sakit. Rachel mendongak menatap langit yang begitu gelap.

"Apa ini waktunya perjuangin cinta gue? Cinta yang benar-benar dari hati gue, bukan karena tampang ataupun materi," ucap Rachel seolah berkomunikasi dengan langit.

The ConquerorOnde histórias criam vida. Descubra agora