17

230 32 0
                                    

"Kak Bir!" Rachel terisak dalam pelukan Birzy. Dia memejamkan mata sambil terus mengeratkan pelukan.

Birzy juga mengeratkan pelukan. Dia kaget saat melihat Rachel berlari kemudian berjongkok dan menangis. Dia yakin, pasti telah terjadi sesuatu antara gadis itu dan Raka. "Berantem kayak biasa?"

"Hmm...." Rachel melepas pelukan lantas mendongak. Dia menatap Birzy yang menatapnya lembut. Banyak yang bilang Birzy itu sangat dingin. Namun, jika mengenal lebih jauh, lelaki itu begitu perhatian.

"Soal duit lagi?" tanya Birzy. "Butuh berapa?" Dia hendak mengeluarkan dompet di saku belakang, tapi Rachel menghentikan gerakannya.

Rachel menggeleng, kali ini sama sekali tidak ada urusannya dengan uang. "Gue nggak bisa cerita," jawabnya. Dia takut Birzy juga melarangnya dekat-dekat dengan kedua kakaknya. Entahlah, dia merasa Birzy atau Raka diam-diam menyelidikinya. Dia tidak pernah bercerita ke dua orang itu saat berdekatan dengan Billy. Namun, Raka tiba-tiba tahu dan memarahinya. "Gue balik, Kak!"

"Hel...." Birzy menarik tangan Rachel. Dia ingin menanyakan sesuatu, tapi saat melihat air mata Rachel dia hanya menggeleng dan melepaskan genggaman. "Nggak jadi!"

"Apa?" Rachel terlihat penasaran.

"Hati-hati." Birzy mengusap puncak kepala Rachel lalu menepuk pundak gadis itu.

Rachel mengembuskan napas, enggan terlalu banyak bertanya. Dia melambaikan tangan lantas berlalu menuju mobilnya.

***

Tring!

Suara ponsel membuat lima orang di ruang rapat itu kehilangan konsentrasi. Si pemilik ponsel langsung mengaktifkan mode getar. Setelah itu dia mencoba biasa saja meski sebal karena suara ponsel mengganggu suasana rapat.

"Jika penting, Pak Brizan boleh izin untuk mengangkat panggilan."

Lelaki berjas abu-abu itu memberi peringatan. Saat mendapat gelengan dari yang bersangkutan, dia melanjutkan meeting.

"Jadi desain yang telah disetujui seperti ini. Saya minta mulai mengecek bahan bakunya. Jika, ada yang kurang bisa langsung hubungi saya," kata Billy. Dia menoleh ke belakang, mouse wireles-nya digerakkan ke bagian atas. "Nah, kira-kira seperti ini hasil akhir proyek apartemen kita."

"Wah bagus," decak kagum beberapa orang lainnya.

"Ada yang ditanyakan?" kata Billy memberikan kesempatan anggota dewan lainnya untuk bersuara.

Brizan menggeleng, menurutnya penjelasan kakaknya cukup banyak. Pandangannya lalu tertuju ke tiga pria lainnya yang masih mengecek dokumen.

"Jika tidak apa, rapat hari kita akhiri. Saya harap segera mengumpulkan revisi desain sebelumnya." Setelah mengucapkan itu Billy keluar lebih dulu, karena ada meeting lain.

Beberapa menit kemudian, ruang rapat itu kembali sepi, menyisakan Brizan yang mulai membuka desain yang telah dibuat. Dia terlalu malas kembali ke ruangan.

Drtt....

Saat sedang asyik bekerja, ponsel di saku jas Brizan bergetar. Dia merogoh saku lalu mengangkatnya tanpa melihat caller id. "Halo."

"Halo. Ini gue Meda. Lo lagi di mana, Kak?"

Brizan menyandarkan tubuh. "Lagi di ruang rapat. Kenapa, Med?"

"Gue boleh ke sana? Mau nganter makan siang."

"Oke. Minta anter sekretaris gue, ya."

"Oke, Kak."

Setelah itu Brizan tidak lagi mendengar suara Meda. Dia kembali fokus dengan pekerjaannya. Dia merasa malam ini harus lembur karena banyak revisi desain yang belum diselesaikan. "Suntuk banget gue!" geramnya membayangkan malam harinya nanti.

The ConquerorМесто, где живут истории. Откройте их для себя