35

218 27 3
                                    

Rachel mulai menangis. "Terus, gue harus gimana? Gue mundur aja?"

Jika terus melihat Brizan dan Meda, Rachel yakin tidak akan kuat. Rachel ingin menjauh dari dua orang itu untuk menenangkan diri. Setidaknya sampai cintanya untuk Brizan hilang di makan waktu.

"Hadapi, Hel. Kadang apa yang dimau cinta belum tentu benar," jelas Raka. "Lo tahu, kan, banyak orang lain rela melakukan apapun demi cinta? Sampai mereka nggak sadar karena cinta mereka melukai orang yang dicinta."

"Terus, gue harus apa?" tanya Rachel lelah.

Raka menggenggam tangan adiknya. "Jangan lari dari kenyataan." Setelah mengucapkan itu Raka membimbing adiknya turun dari ranjang. Kali ini Rachel menurut, dia suntuk dan lelah berteman dengan sepi di dalam kamar.

"Lo mau nginep sini sampai berapa lama?" tanya Raka sesampainya di ruang tengah.

Rachel mengangkat bahu. "Sampai waktu yang tidak bisa ditentukan."

"Ya jangan gitu. Meda pasti juga nyariin."

"Pasti gue pulang kok."

"Jangan lama-lama. Lo makannya banyak."

Rachel memberenggut lalu mendorong dada Raka menjauh. Bibirnya sedikit tertarik ke atas. Setidaknya dia cukup terhibur dengan kehadiran kakaknya.

Tet!

Bel apartemen tiba-tiba berbunyi. Raka berdiri dan membukakan pintu. Saat melihat siapa tamunya, dia menghela napas berat. Dia merasa suasana tegang kembali menyelimuti.

"Rachel ada, Ka?"

Raka menoleh ke adiknya yang duduk sambil melamun. Tatapannya lalu kembali ke Brizan. "Mau ngomong apa? Rachel lagi down, Kak."

Brizan mengintip ke dalam apartemen. Dia melihat Rachel duduk memeluk lutut. Brizan menghela napas, sakit melihat Rachel yang terlihat murung. "Gue harus selesaiin ini semua."

Raka terdiam, memikirkan semuanya. Sekarang adiknya sedang down, jika bertemu dengan Brizan pasti akan menambah rasa sedih. Namun jika tidak segera dibicarakan, Raka yakin adiknya akan terus sedih. "Ya udah, masuk. Gue tunggu di luar."

"Thanks, Ka."

Lelaki dengan bulu halus di rahang itu berjalan masuk dan duduk di samping Rachel. Tangan besarnya terangkat mengusap puncak kepala Rachel dengan lembut. Membuat gadis yang sebelumnya melamun langsung tersentak kaget.

"Lo ngapain di sini?" tanya Rachel panik. Dia turun dari sofa lalu mengedarkan pandang dan tak menemukan abangnya. Rachel tidak sadar kapan Brizan datang dan duduk di sampingnya. "Jangan deketin gue lagi, Bri!"

"Why?" Brizan duduk dengan satu kaki terangkat ke kaki satunya. Kedua tangannya terlipat di depan dada, tatapannya tertuju ke gadis dengan kemeja kebesaran di depannya itu. "Gue berhak buat nemuin siapa."

Sebenarnya Rachel paham jika itu semua hak Brizan. Namun, tetap saja jika itu semua tak beretika. "Tapi Meda...."

"... Meda suka gue?" sela Brizan cepat. Dia berdiri, mendekati Rachel hingga tidak ada jarak di antara keduanya. Punggung tangan Brizan mengusap pipi Rachel.

Refleks gadis itu memejamkan mata dengan hati bergetar. Kedua tangan Rachel rasanya ingin bergerak dan menarik Brizan ke dalam pelukan.

"Lo nggak bisa bohongi perasaan lo di depan gue, Hel."

Rachel membuka mata, melihat mata Brizan yang menatapnya dalam. "Jangan dekati gue, Bri!" ucapnya sambil mendorong Brizan.

Dorongan Rachel tidak memberikan efek apapun ke Brizan. Dia justru menunduk dan melingkarkan kedua lengannya ke pinggang Rachel. "Kenapa kita harus ngalamin cinta serumit ini?" tanya Brizan frustrasi. "Andai saingan gue bukan Kak Billy dan andai saingan lo bukan sahabat lo, pasti kita bisa bersama."

The ConquerorWhere stories live. Discover now