27

198 31 0
                                    

"Gue harus apa? Rebut lo atau gimana?"

Brizan menoleh, melihat Rachel yang berdiri mematung. Dia lalu mengalihkan pandang. Dia sempat merasakan jantungnya berdetak cepat sebelum terdengar langkah kaki. Dia ingin bermain dengan firasatnya, jika si pemilik langkah kaki itu adalah Rachel. Hasilnya benar, hingga dia mengajukan pertanyaan itu.

Rachel sendiri masih terdiam mematung. Dia mencerna setiap pertanyaan yang keluar dari bibir Brizan. Sesuatu aneh itu hinggap lagi di hatinya. "Meda maksud lo?" Dia melangkah mendekat da berdiri di samping Brizan.

Sontak Brizan menoleh. Dia tersenyum melihat Rachel yang terlihat ragu-ragu. Dia mendekat, membenarkan letak rambut Rachel. "Lo harusnya tahu itu buat siapa."

Tatapan Rachel teralih, baru kali ini dia tidak kuat ditatap Brizan sedalam itu. Rachel menghela napas panjang lalu menjauhkan tangan Brizan dari sisi kepala. "Lo tinggal ngomong. Jangan pakai rahasia-rahasiaan," jawabnya dengan napas tercekat.

Brizan menunduk, ibu jari dan jari telunjuknya menjepit dagu Rachel. "Andai gue tahu perasaannya, mungkin nggak akan main terbak-tebakan dengan risiko tinggi kayak gini."

"Maksud lo apa?" Rachel mendongak memberanikan diri menatap mata Brizan.

"Lo sebenarnya ngerti, cuma pura-pura nggak ngerti." Setelah mengucapkan itu Brizan mencium kening Rachel lembut dan lama. "Gue balik ya, cepat sembuh."

Tubuh Rachel terasa lemas. Dia ingin mengejar Brizan, tapi kakinya seolah dipatri. Dia hanya mampu menunduk dengan dada terasa sesak. Untuk kesekian kalinya Rachel bertanya kepada hatinya. Apa gue cinta Brizan?

***

Patah hati membuat Brizan kembali ke rutinitasnya dulu, berkencan dengan wanita yang ditemui di kelab. Semalam sepulang dari apartemen Rachel, dia segera pergi ke kelab. Dia mencari wanita agar tidak terlalu stress memikirkan perasaan Racel. Atau lebih tepatnya cinta segi empat yang begitu rumit.

"Bri. Gimana kalau kita belanja ke situ?"

Brizan menatap Selinne. "Kantong di tangan lo belum cukup?"

Selinne menyandarkan kepala di pundak Brizan. "Belumlah. Gue belum belanja baju."

"Kayaknya barusan beli baju." Brizan geleng-geleng mendengar permintaan itu.

"Baju buat sehari-hari belum."

Brizan menghela napas. Baginya jika menyebut kata baju maka semua baju untuk segala aspek terpenuhi, mulai baju kantor, baju tidur dan baju sehari-hari. Sedangkan menurut wanita ketika berbelanja baju harus ke beberapa toko. Tempat untuk beli baju pesta, baju sehari-hari, baju tidur, belum baju-baju yang lain. "Ya udah, cepetan. Jam istirahat gue keburu habis," ucapnya sambil melangkah lebih dulu.

Di sela makan siang, Brizan menghabiskan waktu bersama Selinne. Dia merasa kesepian karena makan siang sendirian. Jika, dulu dia mudah menghubungi Rachel, sekarang dia canggung dan banyak berpikir jika mau mengajak gadis itu.

"Lo nggak mau cari baju juga?" tanya Selinne sesampainya di sebuah distro.

"Enggak. Lagi males."

"Cowok tajir kayak lo mungkin bosen, ya, belanja ginian."

"Nggak juga," jawab Brizan singkat. Dia mengalihkan pandang, hingga melihat sebuah manekin. Dia mendekat dan memperhatikan dengan saksama. Tank top putih, celana pendek sepaha dan kemeja over size yang dikenakan membuat Brizan ingat dengan Rachel.

Brizan mengedarkan pandang, memanggil parmuniaga. "Saya mau baju ini."

"Baik, Pak!"

Entah apa yang membuat Brizan membeli pakaian itu. Dia hanya merasa ingat dengan Rachel, lalu tiba-tiba ingin membelikan baju.

The ConquerorWhere stories live. Discover now