25

226 32 2
                                    

Lelaki dengan rambut hitam rapi yang telah diolesi pomade itu tampak lebih semangat dari hari-hari biasanya. Pagi ini dia ingin menjemput pemberi semangatnya.

Brizan melangkah di lorong lantai apartemen sambil membenarkan letak dasinya. Dia tidak ingin penampilannya kali ini minus dan merusak semuanya.

Tet....

Brizan menekan bel. Sambil menunggu, dia mengusap rambutnya lalu berdiri tegak. Senyum Brizan mengembang membayangkan Rachel yang akan terpana dengan penampilannya. Kalian boleh mengatakan Brizan terlalu pede, dia memang seperti itu.

Tet....

Brizan menekan bel tidak sabaran. Dia menggerakkan kedua tangan lalu mengubah ekspresinya menjadi sedikit datar agar tidak terlihat jika sedang bahagia.

"Kak Brizan!" Gadis dengan setelan kantor berwarna cokelat muda keluar.

Ada sedikit kekecewaan yang Brizan rasakan. "Rachel ada?" tanyanya sambil melongok ke dalam.

Meda terdiam, terpana dengan penampilan Brizan.

"Med. Rachel ada?" ulang Brizan sambil menggerakkan tangan di depan wajah Meda.

Sontak Meda tersadar dari lamunannya. Dia mundur beberapa langkah lalu menggerakkan tangan agar Brizan melangkah masuk. "Rachel masih mandi. Tunggu aja."

Brizan mengangguk. Dia memilih duduk di sofa panjang, sedangkan Meda duduk di sofa single. Pandangan Meda seolah tidak bisa dialihkan ke arah lain, dia kembali menatap Brizan.

Sebenarnya lelaki itu tahu jika sedang ditatap, hanya saja dia memilih diam. Jujur saja sampai sekarang Brizan masih ingat pernyataan cinta Meda.

"Kak. Gue mau ngomong sesuatu." Meda membuka percakapan.

Mau tidak mau Brizan menatap lawan bicaranya. Dia melihat wajah Meda yang terlihat lebih ceria daripada saat di Bali tempo hari. "Mau ngomong apa, Med?"

Kedua tangan Meda saling bertaut. Kemarin dia sudah memikirkan matang-matang. Ditambah dia diberi dukungan Rachel untuk memperjuangkan cintanya. Ini memang pertama kalinya Meda mengejar seorang lelaki. Namun, dia merasa harus melakukan itu. "Gue nggak bakal nyerah," ujarnya. "Gue nggak bakal nyerah sampai kapanpun."

Kedua alis Brizan hampir bertaut, tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan. Dia memajukan tubuh, memperhatikan Meda yang menunduk itu. "Menyerah apa?"

Meda melirik dari ekor mata. Jantungnya berdetak cepat menyadari Brizan menatapnya intens. "Ngejar lo...."

Brizan menggeleng, sama sekali tidak mendengar apa yang dikatakan. "Bisa lebih kencang, Med? Kalau bisa jangan nunduk."

Dengan susah payah Meda mengangkat wajah dan membalas tatapan Brizan. Pipinya merona. Siapa yang tidak merona jika ditatap intens seperti itu oleh lelaki tampan? Meda kembali menunduk sejenak lalu mulai menjelaskan. "Gue mau merjuangin lo, Kak."

Tubuh Brizan sedikit kaku. Sebenarnya dia enggan terlibat masalah hati, terlebih dia tidak memiliki perasaan apapun ke Meda. Brizan tidak ingin melihat sahabat Rachel menangis seperti waktu itu. "Med, lo tahu siapa yang gue suka."

Meda mengangkat wajah, melihat Brizan yang menatapnya sendu. Dia mengangguk mengerti. "Tapi, cinta nggak bisa dipaksa, Kak."

"Iya gue tahu. Tapi, kalau terus nurutin cinta gue takut lo makin patah hati."

Air mata Meda menggenang di pelupuk mata. Dia mendongak berusaha agar tidak menangis di hadapan Brizan lagi. "Tapi, gimana lagi, Kak? Gue cinta sama lo."

Melihat gadis di depannya hendak menangis, Brizan jadi tak tega. Dia beranjak dan bersimpuh di hadapan Meda. Tangan besarnya lalu menggenggam tangan Meda erat. "Terus, mau lo apa? Gue nggak bisa janjiin apapun."

The ConquerorKde žijí příběhy. Začni objevovat