39

204 28 0
                                    

Dap... Dap... Dap...

Suara langkah kaki itu membuat mereka menoleh ke arah tangga. Billy keluar dengan wajah terluka. "Sorry...."

Brizan seketika berdiri, kaget mendapati keberadaan dua saudaranya. Dia mendekat memperhatikan wajah sendu Billy. "Ada apa ini?"

Billy mendekati Rachel dan menyentuh puncak kepalanya. "Maafin gue ya, Hel."

Rachel mengernyit, tidak mengerti apa yang telah terjadi. Dia menggaruk tengkuk lalu menatap Birzy yang tersenyum lega. "Ini ada apa, sih? Kak Birzy, ada apa?"

Billy menatap ubin dengan pandangan menerawang. Dari CCTV tadi dia melihat bagaimana raut Rachel terlihat bahagia saat bertemu Brizan. Kemudian saat terjatuh, Brizan terlihat begitu khawatir, bisanya jika ada orang lain terluka lelaki itu tidak sampai panik seperti tadi. Terakhir yang membuat Billy sadar ketika dua orang itu saling berhadapan dan terdiam. Entahlah, seperti ada rasa sayang dan ingin melindungi terhadap satu sama lain.

"Gue tahu kok, Bri, kalau lo berkorban demi gue," ujar Billy sambil mendongak menatap Brizan.

Tubuh Brizan menegang lalu menatap Birzy menutut jawaban. Sedangkan yang ditatap mengangkat tangan, seolah menjawab tidak tahu apa-apa. "Kak lo ngomong apa, sih? Berkorban apaan?"

Billy menggenggam tangan Rachel. Dia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ini pertama kalinya dia begitu mencintai seseorang, tapi ini juga pertama kalinya dia merasakan sakit hati yang teramat. "Kenapa nggak bilang kalau saling mencintai?"

Air mata Rachel menggenang di pelupuk mata. Dia sedih melihat wajah Billy. Dia menggeleng tegas, berusaha berbohong, tapi tentu saja percuma. "Enggak, Kak."

"Lo cinta, kan, sama Rachel? Rachel juga cinta sama lo," jawab Brizan membela. Setelah mengucapkan itu dia mengalihkan pandang. Dia ingin memaki atas jawabannya barusan. Namun, dia juga tidak bisa menjawab terang-terangan di hadapan kakaknya.

"Lo beneran cinta Rachel, Bri. Jangan coba bohongi perasaan lo." Billy berajak, menepuk pundak adiknya. Dia tersenyum melihat adiknya yang biasanya bercanda itu terlihat bungkam dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak.

"Pasti Birzy yang ngomong macem-macem?" tuduh Brizan.

Birzy mendekat. "Gue, kan, udah bilang."

"Terus, kenapa jadi gini? Pasti lo kan? Kemarin lo juga habis interogasi gue," balas Brizan tajam.

Rachel masih duduk di posisinya. Dia bingung harus ikut ke percakapan atau tidak. Jika ikut, dia takut semakin memperkeruh suasana.

"Gue sadar diri kok," jawab Billy sambil memaksakan senyuman. "Sorry gue udah buruk sangka. Gue kira lo cuma penasaran doang ke Rachel. Makanya gue milih maju dan perjuangin."

Ucapan Billy membuat sisi lemah Brizan muncul. Dua kakak adik itu saling berpelukan. Ternyata cukup melegakan jika semua dihadapi dengan kejujuran. Brizan melepas pelukan dan menatap kakaknya. "Sorry, Kak. Gue nggak maksud nikung lo."

Merasa suasana cukup membaik, Rachel beranjak. Dia berdiri di antara Brizan dan Billy. "Gue tetep sama Kak Billy kok."

Kalimat itu membuat tiga lelaki di sekitarnya terdiam. Brizan menatap Rachel terluka, sedangkan Billy menggeleng tegas.

"Jangan bohong, Hel." Billy menyentuh pipi Rachel. "Gue semakin sakit kalau gue rampas kebahagiaan kalian."

Air mata Rachel menetes. Dia tidak bisa melukai lelaki sebaik Billy. Lantas Rachel menghambur ke pelukan Billy. "Enggak, Kak. Gue sama lo."

Brizan mengepalkan tangan. Birzy mendekat, menepuk pundak kakak keduanya itu. "Lo pasti tahu kan ini bukan beneran? Rachel nggak mau nyakitin Kak Billy," bisik Birzy menenangkan.

The ConquerorWhere stories live. Discover now