60

966 38 2
                                    

Setelah menyelam, pikiran Rachel terasa blank. Satu yang ada di pikiran, hanya kalimat yang tertulis di spanduk. Dia bahkan lupa bagaimana keindahan di bawah sana. Semuanya seolah lenyap setelah membaca tulisan sakral itu. Will you marry me?

Rachel menutup wajah, malu mendapat perlaukan yang super romantis itu. Namun, jauh di lubuk hatinya dia sangat senang. Ah, sekarang dia bingung harus bereaksi bagaimana di hadapan Brizan. Lelaki itu masih sibuk berbicara dengan pemandu, entah membicarakan apa.

"Oke. Kami pergi dulu."

Kalimat itu membuat Rachel langsung menoleh. Dia melihat ada speed boat lain, kemudian dua pemandu itu pindah speed boat. Rachel tampak panik. Dia mengedarkan pandang dan melihat Brizan yang berdiri di balik kemudi. "Bri...."

Rachel khawatir terjadi sesuatu saat Brizan yang mengendarai. Bukannya tidak percaya, hanya saja dia belum terbiasa. Seketika Rachel bangkit dan mendekati Brizan. "Kamu yakin bisa bawa?"

Brizan melirik sekilas. "Calon suamimu ini pandai dalam segala hal, Hel."

Mendengar "calon suami" disebut Rachel refleks membuang muka. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana cara bersikap di hadapan Brizan. Dia hendak menjauh, tapi pinggangnya ditarik Brizan. Hingga terjebak di samping lelaki itu. "Bri...."

"Nggak suka deket-deket?" Brizan melirik sekilas. Dia mengemudikan speed boad itu sedikit pelan, lalu mematikan mesin.

Rachel terlihat panik. Dia menatap Brizan lalu melirik ke arah laut lepas. "Kita nggak kehabisan bahan bakar, kan?"

Brizan menahan tawa mendengar pertanyaan itu. Rachel masihlah Rachel yang sering memberi pertanyaan konyol. "Enggak, Sayang."

"Ya terus, kenapa berhenti?" Rachel tidak habis pikir.

"Kita perlu ngobrol." Brizan menggenggam tangan Rachel dan mengajak ke sisi luar speed boat. Dia duduk bersila dan menarik gadis yang masih berdiri itu ikut serta.

Rachel melirik Brizan lalu membuang muka. Entahlah, dia seperti menghindari tatapan Brizan. Bukan karena tidak suka, tapi karena malu.

"Lihat, sini." Brizan menarik kepala Rachel. Dia melihat gadis itu masih melirik ke arah lain. "Sayang lihat aku."

Akhirnya, Rachel menatap Brizan. "Aku malu, Bri!" Dia menjauhkan tangan Brizan lalu menutup wajah.

Brizan mengembuskan napas pelan. Dia sendiri juga malu. Namun, jika perasaan itu terus dibiarkan, tidak akan ada pembicaraan yang serius. "Gimana jawabanmu?"

Rachel menunduk. Dia memainkan ujung jarinya sambil melirik ke kiri dan ke kanan. Angin yang berembus membuat Rachel tidak bisa fokus. Terlebih, dengan pembicaraan kali ini. Rasanya campur aduk. "Aku...."

"Kamu mau nggak nikah sama aku?" Brizan merogoh saku dan mengeluarkan dua cincin yang sedikit basah. "Sorry, aku nggak romantis," ujarnya sambil menyodorkan tangannya yang terdapat dua cincin.

Mata Rachel membulat melihat cincin berwarna putih itu. Dia menatap Brizan, wajah lelaki itu terlihat serius. Kemudian Rachel menunduk. "Bri...."

"Huh...." Brizan tidak tahu harus berbicara apa. Terlebih karena Rachel yang hanya menggumam. Dia menarik tangan Rachel dan menggenggamnya erat. "Aku lagi ngomong sama kamu, Sayang. Jawab, dong."

Rachel memejamkan mata. Dia tidak tahu apa yang terjadi kepada dirinya sekarang. Dia tidak bisa menguasai dirinya sendiri. Namun, di sisi lain sejak tadi hatinya berteriak. "Oke, kita ngomong serius." Rachel membuka mata dan fokus menatap Brizan.

Brizan tersenyum mendapati respons Rachel. "Udah dari sebelum pacaran aku selalu bilang, aku serius sama kamu," ujarnya. "Sekarang, aku mau keseriusan itu makin serius. Aku mau hidup sama kamu, diikatan pernikahan."

The ConquerorWhere stories live. Discover now