45

180 22 0
                                    

"Gue sering kabur lewat jendela itu." Brizan semakin mendekat sedangkan Rachel melotot.

"Lo mau ngapain, sih, Bri?" Rachel mendorong kening Brizan. Namun, tangannya langsung ditahan. Tidak menyerah, Rachel mendorong dengan tangannya yang bebas. "Gue bisa cakar muka lo sampai nggak berbentuk."

Brizan terdiam, memperhatikan wajah Rachel yang telah memerah seperti tomat. Belum lagi mata bulat Rachel kian membesar. Gadis itu terlihat begitu lucu dan menggemaskan. Ini pertama kalinya Brizan suka dengan wajah imut seorang perempuan. Dulu, dia lebih suka perempuan yang berpenampilan dewasa. Ah, cinta memang dengan mudah mengubah pandangan seseorang.

"Bri...." Suara Rachel terdengar begitu samar. Dia bingung apa yang sebenarnya terjadi. Brizan ada di atasnya dan menatapnya intens. Pikiran Rachel mulai ke mana-mana, terlebih saat lelaki itu hanya diam. "Lo pengen itu?"

Sudut bibir Brizan tertarik ke atas. Dia memajukan wajah hingga merasakan embusan napas Rachel. "Itu?" tanyanya dengan suara serak. Dia semakin mendekat hingga hidung mancungnya menempel di bibir Rachel.

Mata Rachel refleks terpejam, merasa Brizan akan menciumnya. Namun, selama beberapa detik dia tidak merasakan ada yang menyentuh bibirnya. Perlahan Rachel membuka mata dan mendapati Brizan tengah memejamkan mata. "Bri...."

"Gue bener-bener takut waktu lo tiba-tiba nangis." Brizan tiba-tiba berucap seperti itu. Dia kembali terbayang saat Rachel menangis pilu, membuat hatinya ikutan sakit. "Gue bener-bener nggak mau lo sedih kayak tadi."

Napas Rachel tercekat. Ini lelaki kedua setelah Raka yang begitu peduli kepadanya. Mata Rachel mulai berkaca-kaca. "Bri...."

"Jangan sedih, lagi, ya!" Brizan membuka mata dan menatap Rachel dalam. "Setidaknya kalau sedih, hubungin gue. Biar gue ada di samping lo."

"Hmm...." Rachel mengangguk pelan.

Brizan melepas cekalan tangannya kemudian bangkit. "Udah malem, mending kamu tidur," ujarnya sambil turun dari ranjang.

Rachel menyentuh dada, akhirnya terbebas dari posisi sialan itu. Dia menoleh, melihat Brizan yang berjalan menuju pintu. Seketika dia bangkit lalu berlari mengejar. "Bri...."

Gerakan Brizan terhenti saat Rachel tiba-tiba memeluknya dari belakang. Dia mengusap tangan Rachel lalu melepas pelukan itu. "Apa?" tanyanya seraya berbalik.

"Makasih." Rachel mengucapkan itu dengan senyum tulus. "Makasih, lo bener-bener peduli ke gue. Makasih buat semuanya."

Brizan tersenyum kecil. "Terima kasih doang?" Dia membungkuk menyejajarkan wajah dengan wajah Rachel. "Hari ini hari pertama kita jadian, kan?"

"Terus?" Rachel mulai waspada. Terlebih saat melihat tatapan menggoda Brizan. "Jangan minta yang aneh-aneh."

"Minta cium doang masa aneh?" tanya Brizan sambil menahan tawa.

Rachel ikut tersenyum melihat senyuman Brizan. Dia menangkup pipi lelaki itu dan memberinya kecupan. "Udah?"

"Kurang." Brizan memejamkan mata sambil memajukan wajah semakin mendekat. "Pelit banget nyiumnya cuma gitu."

"Idih!" Rachel menatap Brizan malu-malu. "Ya udah, aku tambah." Dia mencium kedua pipi lalu bibir Brizan. "Cukup?"

Brizan membuka mata sejenak. Saat mendapati Rachel tengah malu-malu dia kembali memejamkan mata. "Kurang lama."

Rachel geleng-geleng. "Ya udah...." Dia mencium Brizan. Kedua ibu jarinya mengusap pipi Brizan yang terasa mulus. Tindakan itu nyatanya cukup membangkitkan seorang Brizan. Terbukti sekarang lelaki itu membalas ciumannya.

Kedua tangan Brizan menarik pinggang Rachel semakin merapat. Kemudian dia bergerak hingga gadis itu bersandar di tembok. Rasanya menyenangkan, berbeda dengan ciuman-ciuman sebelumnya. Mungkin karena hati mereka telah sama-sama memiliki.

The ConquerorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang