59

240 26 4
                                    

"Kalau sekarang gue udah siap nikah gimana?"

Brizan cukup syok mendengar pertanyaan itu. Dia memperhatikan mata Rachel yang berbinar. Pipi gadis itu juga terlihat begitu merah. "Bercanda?"

Rachel mendengus. Dia berjinjit dan mencium bibir Brizan. Saat melihat wajah bingung Brizan, dia tersenyum malu-malu. "Kalau gue udah siap gimana?"

"Hel...." Brizan menggaruk belakang kepala. Dia membuang muka, bingung harus merespons apa. "Gini Hel, nikah kan bukan main-main."

"Emang kelihatannya gue main-main?" Ekspresi Rachel berubah sedikit lebih serius. "Waktu pacaran sama lo, gue nggak pernah main-main."

Brizan mengangguk paham. Dia menatap Rachel dan menyentuh pundaknya. "Kita saling kenal aja dulu. Ya?"

Rachel mengerucutkan bibir. Beruntungnya akal sehatnya memihak. Menikah memang bukan perkara suka sama suka. Lebih dari itu, menikah harus benar-benar siap secara mental. Menikah bukan ajang saling cepat-cepatan dan menuruti gengsi. Namun, menikah lebih karena siap untuk melangkah lebih dewasa dalam segala hal.

"Nikah sama kayak orang yang lagi naik gunung. Nggak mungkin kita nggak bawa apa-apa," ujar Brizan. "Kita harus siap mental, kita harus pakai sepatu yang kuat, pakai pakaian yang hangat, bawa persediaan makanan dan yang pasti keyakinan."

Brizan menatap Rachel yang mendengarkan ucapannya dengan saksama. "Aku ngerasa nikah kayak gitu. Kita tahu tujuan kita sama, tapi nggak tahu jalan yang kita lewati bakal sekeras apa. Karena itu, kita butuh kesiapan dan keperluan yang benar-benar matang. Ngerti, Sayang?"

Rachel mengangguk. Dia mendekat dan menyandarkan kepala di dada bidang Brizan. "Tapi, lo serius, kan, sama gue? Rasanya gue capek cari pacar."

"Kalau nggak serius, nggak mungkin aku pacarin kamu." Brizan menepuk pundak Rachel, setelah melepas pelukan. "Aku harus pulang."

Pandangan Rachel terarah ke luar, hujan baru saja berhenti. Namun, masih menyisakan rintik-rintik kecil. "Gue payungin." Dia berjalan keluar dan mengambil payung yang tadi dipakai.

Brizan tersenyum atas kepedulian Rachel. "Ayo!" Dia merangkul Rachel. "Romantis, ya, payungan berdua kayak gini."

"Romantis kalau hujan-hujanan."

"Enggak! Nanti kamu pilek!" ujar Brizan menarik menarik hidung kecil Rachel.

Rachel menyenggol lengan Brizan. "Bilang aja lo nggak bisa romantis." Dia lalu melingarkan lengan ke Brizan. "Gue tadi udah latihan."

Langkah Brizan seketika terhenti, menatap Rachel yang mulai terlihat antusias. "Bener? Terus, kapan latihan lagi?"

"Lusa," jawab Rachel sambil mendongak. "Setelah bisa, beneran ya kita harus nyelam. Pengen banget lihat pemandangan di bawah laut."

"Iya...." Brizan menyentuh kening Rachel dengan sayang. "Tapi inget, jangan terlalu capek-capek."

Rachel menarik Brizan dan kembali melangkah. "Kalau capek, nanti diurusin sama Brizan. Ya, kan?"

Brizan tampak bergidik. "Kamu kalau sakit manjanya minta ampun. Berasa punya anak jadinya."

"Kan, manjanya sama lo bukan sama cowok lain." Rachel menaikturunkan alisnya. "Emang mau gue manja ke cowok lain?"

"Bisa dipastikan cowok itu bakal ilang." Brizan menjawab dingin. Dia berbalik saat sampai samping mobil. Tangannya terangkat ke puncak kepala Rachel. Dia selalu suka dengan tindakan seperti itu. "Aku pulang, ya!"

"Besok kalau nggak sibuk main ke sini, ya."

"Kamu bakal tinggal di sini?" Brizan refleks menoleh ke arah rumah lalu menatap Rachel penuh tanya. "Udah ngasih keputusan?"

The ConquerorWhere stories live. Discover now