30

234 26 3
                                    

"Rachel!"

Gadis yang dipanggil itu terdiam. Dia masih tidak percaya dengan pengelihatannya. Saat pria itu mendekat barulah dia sadar jika pria itu bukan abangnya. "Papa?"

Saat sang papa berdiri di depannya, Rachel langsung berbalik. Dia berlari kencang sambil sesekali tidak menoleh ke belakang. Setelah beberapa meter, dia berhenti sambil mengusap dada, beruntung sang papa tidak mengejar.

Rachel mengusap pelipis, merasa jika sudah tidak aman. Dia menoleh dan tersentak melihat papanya masih mengikuti. Sontak Rachel kembali berlari.

"Jangan lari, Hel! Papa mau ketemu kamu!"

Teriakan itu seolah ada unsur magis. Rachel langsung berhenti berlari dan menoleh ke belakang. Matanya berkaca-kaca dan tenggorokannya tercekat.

Pria berkumis itu mendekat lalu menarik anaknya ke dalam pelukan. "Papa kangen kamu, Hel. Papa kangen...."

Dada Rachel terasa sesak, antara rasa senang dan marah. Dia hanya diam saat papanya terus memeluk bahkan mencium keningnya.

"Papa mau ngobrol sama kamu."

Papa Rachel membimbing anaknya menuju kafe terdekat. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan Rachel. Dia cukup kaget saat mendapati anak muda yang mirip dengan istri pertamanya. "Kamu kenapa jalan kaki?" Dia memulai percakapan setelah duduk berhadapan dengan anaknya.

Rachel menatap papanya dengan perasan campur aduk. Dalam hati dia memuji ketampanan papanya meski usianya tidak lagi muda. Namun, Rachel juga marah karena ketampanan itu membuat sang papa meninggalkannya.

Ditatap seperti itu Rifat mulai canggung. Dia sadar Rachel syok bahkan tidak suka melihatnya. Rifat memajukan tubuh, tangannya terulur ke pipi Rachel. Refleks Rachel menjauh membuat Rifat tersenyum kecut. "Kenapa kamu nggak pernah pulang?"

"Papa ngapain ngejar Rachel?" Rachel menatap tidak suka. "Buat apa pulang? Itu bukan tempat Rachel."

Rifat menunduk sambil menghela napas panjang. "Papa kangen kamu. Sama Bang Raka juga."

Penurutan itu membuat Rachel mendengus. Kangen? Gue harus percaya atau enggak? Dia mendengus dan pura-pura tidak terjadi apa-apa. "Oh...."

"Kamu nggak kangen papa?"

Rachel mengangkat wajah, menatap papanya yang tersenyum sendu. "Kenapa baru sekarang papa nemuin Rachel? Beberapa hari yang lalu Rachel udah anggep papa nggak ada."

Tubuh Rifat tersentak, tidak menyangka anaknya berpikiran seperti itu. Namun, dia tidak bisa marah, karena itu semua kesalahannya. "Papa pengen deket sama kamu, sama Bang Raka," ungkapnya. "Bisa hubungi Bang Raka biar ke sini?"

Rachel mengangguk. Dia butuh kakaknya untuk menghadapi papanya. Dia beranjak lalu berpamitan. "Rachel ke depan sampai Bang Raka dateng."

Rifat menatap anaknya yang melangkah menjauh. Kesalahan fatalnya hingga membuat Rachel seperti itu. Rifat mengusap wajah, terima saja asalkan masih bisa bertemu dengan kedua anaknya.

"Bang, bisa ke sini nggak? Gue butuh lo," kata Rachel saat menghubungi abangnya.

"Lo di mana?"

"Gue share loct, ya." Setelah itu Rachel memutuskan sambungan. Dia mengirimkan lokasinya ke Raka.

Sambil menunggu, Rachel menunduk dengan tangis tertahan. Kondisi psikisnya sedang tidak baik-baik saja, ditambah dengan kehadiran papanya. Rachel tidak tahu harus bersikap apa di depan papanya. Dia ingin marah dan menyombongkan diri karena bisa hidup sampai detik ini meski tanpa papanya. Namun, dia tidak bisa memungkiri jika juga merindukan papanya.

The ConquerorWhere stories live. Discover now